MEMBERI, JANGAN HARAP MENERIMA…..
Menjadi seorang bunda ternyata butuh energi ekstra. Emosi, fisik, intelegensi, harus banyak diperas. Padahal baru satu orang anak. Satu anak. Ternyata memang tidak mudah menjadi orang tua. Butuh kesabaran dan perjuangan. Amanah agung dari sang Maha Pencipta ini memang benar-benar suatu ujian, rahmat, rezeki yang teramat dalam hikmahnya untuk ditelusuri.
(Belum lagi harus memikirkan si Ayah. Dibutuhkan lebih dari intelegensia dan kepandaian. Yang paling melelahkan adalah secara emosional. Suami seperti seorang anak yang sudah jauh tumbuh dan berkembang dibandingkan si anak.)
Kehidupan anak adalah kehidupan orang tuanya. Belum lagi si anak lahir, orang tua pasti sudah memikirkan apa yang akan diberikan terbaik untuk si anak kelak, setidaknya nama terbaik calon anak. Sang orang tua sibuk membeli seluruh peralatan bayi serta tidak ketinggalan buku-buku penambah wawasan bagaimana menjadi orang tua yang baik dan menjadikan anak seperti harapan mereka. Itu pula yang saya dan suami saya lakukan sebelum si mungil lahir.
Ternyata memang kehidupan adalah sebuah proses. Dari yang tidak ada menjadi ada. Dari yang tidak terpikirkan menjadi terwujudkan. Dari setitik mani menjadi segumpal darah, segumpal daging yang melapisi tulang, dan akhirnya menjadi janin berusia 38 - 40 minggu yang siap untuk dilahirkan.
Menjadi seorang bunda ternyata menambah daftar orang-orang yang saya cemburui. Cemburu bukan hanya untuk suami saja rupanya. Saya ternyata juga cemburu dengan anak saya, cemburu dengan bayi yang belum genap berusia 5 bulan. Saya teringat suatu hari ketika si kecil sudah bisa memberikan respon kepada orang-orang di sekitarnya. Ternyata dia malah memberikan respon lebih menyenangkan kepada pembantu-pembantu saya ketimbang kepada saya. Tersenyum bahkan tertawa lepas bila berhadapan dengan mereka. Sedangkan saya hanya ditatap saja, tidak berbeda jauh perlakuan si kecil dengan ayahnya.
Saya tidak tahu, apakah saya yang terlalu sensitif ataukah suami saya yang memang biasa saja. Saya cemburu sekali. Saya tahu bahwa memang ada tahapan dalam kehidupan bayi dimana orang-orang terdekatnya yang akan dikenal sebagai ibu atau bapaknya. Dan suatu saat nanti dia akan mengerti siapa ibunya sesungguhnya. Tapi saya tidak bisa menerima apabila ada orang lain yang dikenal si mungil sebagai ibunya. Saya cemburu. Hingga saat akumulasi emosi itu tertumpahkan, saya hanya bisa menangis dan mencurahkan isi hati kepada suami.
Setelah mendapat curahan dari suami, hati saya cukup dapat menerima. Dari semua apa yang ia ucapkan, intinya bagi saya hanya satu. Dan inti terpenting itu ternyata saya dapatkan lagi dari seorang konsulen wanita saya di divisi geriatri, dr. Siti Setiati yang bercerita mengenai pasien usia lanjutnya. Hal itu pula yang saya baca di cover belakang buku perawatan geriatri. Suatu kalimat yang dapat menenangkan saya dan itulah yang menjadikan saya introspeksi diri apakah saya memang memiliki kasih sayang sebagai seorang bunda kepada anak saya dan memiliki kasih sayang sebagai seorang anak bagi ibu saya. Kalimat yang tertulis di buku itu adalah kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang…..
Saya jadi ingat sebuah lagu bahkan terkadang menangis bila menyanyikannya. Semoga saya bukan seorang anak dengan kasih sayang hanya sepanjang galah. Hanya memberi, memberi dan terus memberi kasih sayang, tanpa berharap kasih sayang itu terbalaskan.
Kasih ibu kepada beta....
Tak terhingga sepanjang masa.......
Hanya memberi......
Tak harap kembali.......
Bagai sang surya menyinari dunia........
Oleh: Bunda Daffa
(Belum lagi harus memikirkan si Ayah. Dibutuhkan lebih dari intelegensia dan kepandaian. Yang paling melelahkan adalah secara emosional. Suami seperti seorang anak yang sudah jauh tumbuh dan berkembang dibandingkan si anak.)
Kehidupan anak adalah kehidupan orang tuanya. Belum lagi si anak lahir, orang tua pasti sudah memikirkan apa yang akan diberikan terbaik untuk si anak kelak, setidaknya nama terbaik calon anak. Sang orang tua sibuk membeli seluruh peralatan bayi serta tidak ketinggalan buku-buku penambah wawasan bagaimana menjadi orang tua yang baik dan menjadikan anak seperti harapan mereka. Itu pula yang saya dan suami saya lakukan sebelum si mungil lahir.
Ternyata memang kehidupan adalah sebuah proses. Dari yang tidak ada menjadi ada. Dari yang tidak terpikirkan menjadi terwujudkan. Dari setitik mani menjadi segumpal darah, segumpal daging yang melapisi tulang, dan akhirnya menjadi janin berusia 38 - 40 minggu yang siap untuk dilahirkan.
Menjadi seorang bunda ternyata menambah daftar orang-orang yang saya cemburui. Cemburu bukan hanya untuk suami saja rupanya. Saya ternyata juga cemburu dengan anak saya, cemburu dengan bayi yang belum genap berusia 5 bulan. Saya teringat suatu hari ketika si kecil sudah bisa memberikan respon kepada orang-orang di sekitarnya. Ternyata dia malah memberikan respon lebih menyenangkan kepada pembantu-pembantu saya ketimbang kepada saya. Tersenyum bahkan tertawa lepas bila berhadapan dengan mereka. Sedangkan saya hanya ditatap saja, tidak berbeda jauh perlakuan si kecil dengan ayahnya.
Saya tidak tahu, apakah saya yang terlalu sensitif ataukah suami saya yang memang biasa saja. Saya cemburu sekali. Saya tahu bahwa memang ada tahapan dalam kehidupan bayi dimana orang-orang terdekatnya yang akan dikenal sebagai ibu atau bapaknya. Dan suatu saat nanti dia akan mengerti siapa ibunya sesungguhnya. Tapi saya tidak bisa menerima apabila ada orang lain yang dikenal si mungil sebagai ibunya. Saya cemburu. Hingga saat akumulasi emosi itu tertumpahkan, saya hanya bisa menangis dan mencurahkan isi hati kepada suami.
Setelah mendapat curahan dari suami, hati saya cukup dapat menerima. Dari semua apa yang ia ucapkan, intinya bagi saya hanya satu. Dan inti terpenting itu ternyata saya dapatkan lagi dari seorang konsulen wanita saya di divisi geriatri, dr. Siti Setiati yang bercerita mengenai pasien usia lanjutnya. Hal itu pula yang saya baca di cover belakang buku perawatan geriatri. Suatu kalimat yang dapat menenangkan saya dan itulah yang menjadikan saya introspeksi diri apakah saya memang memiliki kasih sayang sebagai seorang bunda kepada anak saya dan memiliki kasih sayang sebagai seorang anak bagi ibu saya. Kalimat yang tertulis di buku itu adalah kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang…..
Saya jadi ingat sebuah lagu bahkan terkadang menangis bila menyanyikannya. Semoga saya bukan seorang anak dengan kasih sayang hanya sepanjang galah. Hanya memberi, memberi dan terus memberi kasih sayang, tanpa berharap kasih sayang itu terbalaskan.
Kasih ibu kepada beta....
Tak terhingga sepanjang masa.......
Hanya memberi......
Tak harap kembali.......
Bagai sang surya menyinari dunia........
Oleh: Bunda Daffa
Comments