POLIGAMI DAN PERSELINGKUHAN
Beberapa hari ini kita dapat menikmati dua berita aktual dari media massa. Yang pertama adalah kasus perselingkuhan dan beredarnya video porno seorang anggota dewan yang terhormat dengan seorang penyanyi dangdut, dan yang kedua adalah kasus poligami yang dilakukan oleh dai terkenal. Kedua kasus tersebut ditanggapi secara ramai namun dengan dua perspektif yang berbeda.
Kasus pertama banyak ditanggapi dalam konteks politik dan moral. Dalam konteks politik karena si pelaku adalah pejabat tinggi partai pemenang pemilu dan anggota dewan yang terhormat yang telah berkiprah di kancah wakil rakyat sepuluh tahun terakhir ini. Kasus ini digunakan oleh sebagian pihak sebagai serangan politik yang cukup mematikan sehingga memaksa pelaku dan partainya untuk memulihkan nama baik. Dalam konteks moral, kasus ini dilihat sebagai suatu perilaku tidak terpuji, yaitu perselingkuhan atau perzinaan.
Kasus kedua ditanggapi dalam konteks emosional, berupa kekecewaan sebagian penggemar, pengikut atau pemerhati terhadap sikap si dai yang melakukan poligami. Alasan kekecewaan tersebut dikarenakan karena tabunya perilaku poligami bagi sebagian kalangan terutama kaum wanita. Dengan melakukan poligami, pihak yang tidak setuju menganggap si dai telah menghianati kaum wanita, berperilaku tidak adil terhadap kaum wanita, dan mengumbar hawa nafsu.
Penulis mengamati kedua hal diatas memiliki suatu kesamaan, yaitu suatu ketidakmampuan seorang laki-laki dalam bertahan dengan satu pasangan/istri sah. Namun dua kasus di atas ditanggapi dan diselesaikan dengan cara yang sangat berbeda.
Si anggota dewan yang terhormat, yang telah memiliki satu istri dan dua anak, menyelesaikan masalah “ketidaktahanannya” dengan cara menggauli wanita bukan istri atau menzinainya. Dengan cara tersebut, si anggota dewan yang terhormat dapat mempertahankan keluarganya sekaligus dalam waktu yang bersamaan dapat menyalurkan nafsunya. Dapat mempertahankan keluarga, karena si anggota dewan yang terhormat menyembunyikan kisah perzinaannya dari pengetahuan keluarga. Si anggota dewan yang terhormat tidak perlu berurusan secara terbuka tentang perzinaannya dengan siapapun kecuali teman selingkuhnya sampai kisahnya terbuka ke publik
Si dai, yang telah memiliki satu istri dan tujuh anak, memilih menyelesaikan masalah “ketidaktahanannya” dengan cara menikahi seorang janda beranak tiga dengan cara yang menurut si dai telah sesuai dengan agamanya. Berdasarkan berita di media, sebelum menikahi istri kedua, si dai telah menyatakan niatnya kepada istri pertama dan akhirnya menikahi istri kedua di depan para saksi. Selanjutnya si dai harus memberi penjelasan kepada masyarakat luas perihal pernikahannya dan harus rela dihakimi oleh masyarakat. Si dai sampai harus meminta maaf dan mohon pengertian kepada masyarakat atas perbuatannya apabila masyarakat belum sependapat dengannya.
Di mata penulis, anggota dewan yang terhormat adalah seorang pengecut dan pembohong. Ia mau enak tetapi tidak mau bertanggungjawab. Ia hanya mau berkorban sebatas kenikmatan yang diperolehnya. Ia hanya menginginkan kenikmatan sesaat. Ia melakukan penipuan terhadap sumpah pernikahannya. Ia membohongi keluarganya. Bisa jadi ia membawa penyakit kepada keluarganya. Ia melakukan tindakan yang menurut kepercayaannya dan agamanya sebagai dosa besar, suatu perzinaan. Dalam hukum agamanya, perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki yang telah beristri dikenai hukuman rajam sampai mati. Alangkah beratnya pelanggaran yang ia lakukan sampai divonis mati. Apalah guna dia bagi masyarakat kalau ia hanyalah orang yang layak mati.
Di lain pihak, tindakan si dai lebih merupakan tindakan seorang gentlemen. Mau berbuat dan mau bertanggungjawab. Menggauli wanita dengan landasan sah pernikahan. Dengan pernikahan ia melakukan akad dengan wanita dan walinya dan menyatakan kepada publik bahwa ia menikahi seorang wanita dan mengambil tanggungjawab sebagai suami. Dengan pernikahan berarti ia bertanggungjawab secara jangka panjang. Ia harus memberi nafkah lahir maupun batin. Masalah bagaimana nasib keluarganya dan keadilan di dalamnya adalah urusan pribadinya.
Tidak mudah untuk memahami poligami, bahkan saya sebagai seorang laki-laki. Namun di mata saya, poligami jauh lebih mulia daripada berzina. Poligami jauh lebih sulit, lebih membutuhkan komitmen, dan tanggungjawab daripada zina. Berpoligami berarti kita menghadapi sejuta tantangan rumah tangga. Satu istri pun, buat saya, tidak mudah untuk mencapai keharmonisan dan kesejahteraan, apalagi lebih dari satu istri. Saya tidak bisa membayangkan alangkah beraninya orang yang berkeputusan untuk berpoligami. Saya hanya menduga, kenikmatan beristri dua jauh lebih sedikit dibandingkan kesusahan mengurus istri dua.
Sebaliknya, alangkah mudah dan murahnya melakukan perzinaan. Hanya sedikit rupiah dibutuhkan untuk berzina, hanya sedikit langkah untuk membuang nafsu dengan berzina. Jangan kan rupiah, hanya bermodal cinta dan rayuan pun zina mudah didapatkan. Buat saya sebagai laki-laki, saya melihat banyak wanita mau diajak berzina. Tidak sulit untuk mencari sang wanita, tidak sulit untuk mencari tempatnya, tidak sulit untuk memilih waktunya, dan tidak sulit untuk melaksanakannya . Berzina semudah anda membeli voucher handphone, pikir saya.
Dengan pemahaman saya terhadap poligami dan zina, saya melihat seharusnya kita angkat topi terhadap pelaku poligami, sambil mengingatkannya untuk selalu menjaga keluarganya seperti kita menjaga keluarga kita. Sebaliknya terhadap pelaku zina, hanya nasehat agar ia sadar akan perbuatannya yang sangat merusak dan semoga kerusakannya tidak dibawa ke keluarganya.
Kita tahu apa akibat suatu perzinaan. Hukuman Tuhan memang tidak dilaksanakan. Namun Tuhan pun Maha Adil. Tuhan dapat memberikan hukuman kapan saja. Saya yakin pembaca sering mendengar cerita alangkah sengsaranya orang yang melakukan zina. Ia tercabut dari keluarga, terusir dari karir, terbuang dari lingkungan. Kalau belum sekarang, pasti waktunya akan datang. Klimaksnya adalah penyakit yang sangat mengerikan, HIV AIDS.
Saya hanya berharap agar tidak diberi kesempatan baik untuk berpoligami apalagi untuk berzina.
DZ
Kasus pertama banyak ditanggapi dalam konteks politik dan moral. Dalam konteks politik karena si pelaku adalah pejabat tinggi partai pemenang pemilu dan anggota dewan yang terhormat yang telah berkiprah di kancah wakil rakyat sepuluh tahun terakhir ini. Kasus ini digunakan oleh sebagian pihak sebagai serangan politik yang cukup mematikan sehingga memaksa pelaku dan partainya untuk memulihkan nama baik. Dalam konteks moral, kasus ini dilihat sebagai suatu perilaku tidak terpuji, yaitu perselingkuhan atau perzinaan.
Kasus kedua ditanggapi dalam konteks emosional, berupa kekecewaan sebagian penggemar, pengikut atau pemerhati terhadap sikap si dai yang melakukan poligami. Alasan kekecewaan tersebut dikarenakan karena tabunya perilaku poligami bagi sebagian kalangan terutama kaum wanita. Dengan melakukan poligami, pihak yang tidak setuju menganggap si dai telah menghianati kaum wanita, berperilaku tidak adil terhadap kaum wanita, dan mengumbar hawa nafsu.
Penulis mengamati kedua hal diatas memiliki suatu kesamaan, yaitu suatu ketidakmampuan seorang laki-laki dalam bertahan dengan satu pasangan/istri sah. Namun dua kasus di atas ditanggapi dan diselesaikan dengan cara yang sangat berbeda.
Si anggota dewan yang terhormat, yang telah memiliki satu istri dan dua anak, menyelesaikan masalah “ketidaktahanannya” dengan cara menggauli wanita bukan istri atau menzinainya. Dengan cara tersebut, si anggota dewan yang terhormat dapat mempertahankan keluarganya sekaligus dalam waktu yang bersamaan dapat menyalurkan nafsunya. Dapat mempertahankan keluarga, karena si anggota dewan yang terhormat menyembunyikan kisah perzinaannya dari pengetahuan keluarga. Si anggota dewan yang terhormat tidak perlu berurusan secara terbuka tentang perzinaannya dengan siapapun kecuali teman selingkuhnya sampai kisahnya terbuka ke publik
Si dai, yang telah memiliki satu istri dan tujuh anak, memilih menyelesaikan masalah “ketidaktahanannya” dengan cara menikahi seorang janda beranak tiga dengan cara yang menurut si dai telah sesuai dengan agamanya. Berdasarkan berita di media, sebelum menikahi istri kedua, si dai telah menyatakan niatnya kepada istri pertama dan akhirnya menikahi istri kedua di depan para saksi. Selanjutnya si dai harus memberi penjelasan kepada masyarakat luas perihal pernikahannya dan harus rela dihakimi oleh masyarakat. Si dai sampai harus meminta maaf dan mohon pengertian kepada masyarakat atas perbuatannya apabila masyarakat belum sependapat dengannya.
Di mata penulis, anggota dewan yang terhormat adalah seorang pengecut dan pembohong. Ia mau enak tetapi tidak mau bertanggungjawab. Ia hanya mau berkorban sebatas kenikmatan yang diperolehnya. Ia hanya menginginkan kenikmatan sesaat. Ia melakukan penipuan terhadap sumpah pernikahannya. Ia membohongi keluarganya. Bisa jadi ia membawa penyakit kepada keluarganya. Ia melakukan tindakan yang menurut kepercayaannya dan agamanya sebagai dosa besar, suatu perzinaan. Dalam hukum agamanya, perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki yang telah beristri dikenai hukuman rajam sampai mati. Alangkah beratnya pelanggaran yang ia lakukan sampai divonis mati. Apalah guna dia bagi masyarakat kalau ia hanyalah orang yang layak mati.
Di lain pihak, tindakan si dai lebih merupakan tindakan seorang gentlemen. Mau berbuat dan mau bertanggungjawab. Menggauli wanita dengan landasan sah pernikahan. Dengan pernikahan ia melakukan akad dengan wanita dan walinya dan menyatakan kepada publik bahwa ia menikahi seorang wanita dan mengambil tanggungjawab sebagai suami. Dengan pernikahan berarti ia bertanggungjawab secara jangka panjang. Ia harus memberi nafkah lahir maupun batin. Masalah bagaimana nasib keluarganya dan keadilan di dalamnya adalah urusan pribadinya.
Tidak mudah untuk memahami poligami, bahkan saya sebagai seorang laki-laki. Namun di mata saya, poligami jauh lebih mulia daripada berzina. Poligami jauh lebih sulit, lebih membutuhkan komitmen, dan tanggungjawab daripada zina. Berpoligami berarti kita menghadapi sejuta tantangan rumah tangga. Satu istri pun, buat saya, tidak mudah untuk mencapai keharmonisan dan kesejahteraan, apalagi lebih dari satu istri. Saya tidak bisa membayangkan alangkah beraninya orang yang berkeputusan untuk berpoligami. Saya hanya menduga, kenikmatan beristri dua jauh lebih sedikit dibandingkan kesusahan mengurus istri dua.
Sebaliknya, alangkah mudah dan murahnya melakukan perzinaan. Hanya sedikit rupiah dibutuhkan untuk berzina, hanya sedikit langkah untuk membuang nafsu dengan berzina. Jangan kan rupiah, hanya bermodal cinta dan rayuan pun zina mudah didapatkan. Buat saya sebagai laki-laki, saya melihat banyak wanita mau diajak berzina. Tidak sulit untuk mencari sang wanita, tidak sulit untuk mencari tempatnya, tidak sulit untuk memilih waktunya, dan tidak sulit untuk melaksanakannya . Berzina semudah anda membeli voucher handphone, pikir saya.
Dengan pemahaman saya terhadap poligami dan zina, saya melihat seharusnya kita angkat topi terhadap pelaku poligami, sambil mengingatkannya untuk selalu menjaga keluarganya seperti kita menjaga keluarga kita. Sebaliknya terhadap pelaku zina, hanya nasehat agar ia sadar akan perbuatannya yang sangat merusak dan semoga kerusakannya tidak dibawa ke keluarganya.
Kita tahu apa akibat suatu perzinaan. Hukuman Tuhan memang tidak dilaksanakan. Namun Tuhan pun Maha Adil. Tuhan dapat memberikan hukuman kapan saja. Saya yakin pembaca sering mendengar cerita alangkah sengsaranya orang yang melakukan zina. Ia tercabut dari keluarga, terusir dari karir, terbuang dari lingkungan. Kalau belum sekarang, pasti waktunya akan datang. Klimaksnya adalah penyakit yang sangat mengerikan, HIV AIDS.
Saya hanya berharap agar tidak diberi kesempatan baik untuk berpoligami apalagi untuk berzina.
DZ
Comments