Kebebasan Versus Kesejahteraan: Belajar dari Malaysia

Kita tertegun dengan pernyataan Abdullah Badawi, Perdana Menteri Malaysia, yang begitu teguh ia berprinsip bahwa Malaysia lebih membela keselamatan umum dibandingkan dengan kebebasan publik (Kompas 11/12/07). Pernyataan tersebut seakan mengingatkan kembali pilihan yang telah kita pilih dalam perjalanan kita berbangsa, yaitu memilih kebebasan dengan segala konsekuensinya.

Ketika Rezim Soeharto berhasil digulingkan pada era reformasi tahun 1998 lalu terdapat semacam pertukaran antara stabilitas dan kebebasan. Era Soeharto yang identik dengan stabilitas politik, kesejahteraan ekonomi, pertumbuhan berkelanjutan, keteraturan, dan nama harum Indonesia, dipertukarkan dengan kebebasan; yang pada awalnya malahan kebablasan. Sekarang ini, bangsa kita mendapatkan kebebasan berekspresi, kebebasan berpolitik, bahkan sampai kebebasan berkorupsi yang masih dinikmati sebagian koruptor. Di sisi lain, selama hampir satu dasawarsa ini kita kehilangan stabilitas politik, kesejahteraan ekonomi, pertumbuhan dan arah pembangunan, keteraturan, dan citra Indonesia.

Entah kebetulan atau tidak, peristiwa-peristiwa yang sudah lama tidak terjadi dan hampir dilupakan kembali menghampiri sekaligus mencoreng era kebebasan yang dibeli dengan sangat mahal oleh rakyat Indonesia. Peristiwa tersebut adalah terorisme, kerusuhan massa, konflik horizontal, mega korupsi, penjualan aset-aset negara, dan keterpurukan prestasi dan image bangsa di kancah internasional.

Reformasi dan penggulingan rezim Soeharto disambut dengan eforia dan harapan yang tinggi. Namun, setelah hampir satu dasawarsa ini kita tercenung. Alangkah jauhnya tujuan dan harapan reformasi dengan kenyataan yang sekarang kita hadapi. Jargon-jargon reformasi yang dulu dikumandangkan, hanya sebagai penyemangat orasi dan hiasan di media massa. Karena pada kenyataannya, kita belum beranjak dan mungkin jauh lebih buruk dibandingkan apabila dulu tidak melakukan reformasi; suatu hayalan belaka.

Keterpurukan ekonomi Indonesia karena krisis multi dimensi, baik setelah adanya krisis regional maupun setelah kejatuhan Soeharto, membuat sebagian rakyat Indonesia merasa getun (menyesal), kenapa harus ada huru-hara reformasi. Kenangan stabilitas dan kemakmuran di era rezim Soeharto begitu melekat, begitu indah untuk dikenang, kini hilang dan digantikan berbagai malapetaka seperti kenaikan harga-harga bahan pokok, kenaikan bahan bakar minyak, sulitnya lapangan kerja, sulitnya menjalankan perdagangan, maraknya kegiatan korupsi yang semakin berani, dan seringnya kerusuhan dan huru-hara terjadi. Mereka bahkan sambat (mengadu), lebih baik di pimpin Pak Harto, daripada reformasi yang malah bikin sengsara.

Amien Rais, sebagai salah satu tokoh lokomotif reformasi pernah mengatakan bahwa reformasi dan kebebasan yang ada adalah landasan kemakmuran hakiki untuk masa depan bangsa. Tidak lah akan terbentuk masyarakat adil dan makmur apabila tidak melakukan reformasi. Amien Rais dan sebagian besar tokoh reformasi berpandangan ke depan, namun rakyat menginginkan hasil nyata dalam waktu yang instan.

Abdullah Badawi dan pengambil keputusan di Malaysia belajar dari kasus Indonesia. Mereka wait and see ketika Indonesia melakukan reformasi. Dan setelah sepuluh tahun melihat dan mengamati, mereka semakin yakin, bahwa cara-cara seperti yang dilakukan bangsa serumpun ini adalah cara yang salah. Buktinya, tidak ada perkembangan kesejahteraan bangsa Indonesia, sebaliknya dengan pemerintahan status quo, Malaysia bisa jauh mengungguli Indonesia.
Ditambah lagi, Malaysia mempunyai pendirian dan kepercayaan diri yang tinggi. Hal tersebut dapat digambarkan ketika krisis ekonomi yang juga mendera Malaysia. Mereka menolak obat-obat IMF dan dengan teguh pendirian menerapkan resep-resep mereka sendiri. Selain itu, Malaysia mempunyai keberanian ekstra dalam berpendapat dan menentukan sikap dalam percaturan politik dunia. Amerika dan Australia sering kali menjadi sasaran kekerasan pendirian Malaysia.

People power seperti yang terjadi di Indonesia telah diuji coba beberapa kali di Malaysia, dan hasilnya tidak lah sama. Entah karena kurangnya dukungan masyarakat, kurang militannya orang Malaysia dalam menuntut, atau kurang bersatunya warga Malaysia dalam isu kebebasan, yang jelas, pemerintah Malaysia telah berkali-kali berhasil membungkam people power tersebut.

Pernyataan Abdullah Badawi yang disebutkan di atas mungkin menggambarkan kekerasan pendirian dan kepercayaan diri pemerintah, bahwa kebebasan bukanlah segalanya. Mungkin itu yang harus kita camkan. Sebagai bangsa yang sedang berubah dan selalu menjadikan kebebasan sebagai alasan, kita harus berani berpendirian dan tidak mudah terpengaruh. Kebebasan memang harus selalu dijunjung sebagai hak warga yang harus diberikan. Namun bukankah kita juga memiliki kewajiban?, yaitu kewajiban untuk menghormati hak orang lain dan menyelamatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Mana yang lebih dulu harus kita tunaikan, hak atau kewajiban?.

Comments

Popular posts from this blog

Gajah Oling: Lebih Percaya pada Pengaman Swasta

Asal-usul Ngeles (Mengelak) & Legenda Ngeles Amrik

Designer atau Developer