Dihukum Media dan Massa
Sore tadi saat saya sudah rebah di kursi periksa gigi siap untuk mulai perawatan, saya bertanya kepada Dokter Eka, “Dok, bukankah itu suara AA Gym?”. Speaker di ruangan periksa Dokter Eka memang sedang memutar AA Gym yang sedang berceramah tentang membangun keluarga sakinah. Dokter Eka membuka maskernya dan mengiyakan pertanyaan saya, sambil berkomentar, bahwa sebenarnya ini semua bukan salah AA Gym.
Sejenak saya tertegun dan melontarkan pertanyaan memang ini salah siapa?. Dokter Eka, dokter gigi PTT lulusan Trisakti ini berpendapat bahwa justru masyarakat sendiri yang terlalu mengagungkan AA Gym, bukan mendengarkan nasehatnya. Sehingga, ketika AA Gym membuat suatu kesalahan, masyarakat kecewa dan meninggalkannya. Menurut si Dokter, AA Gym hanyalah manusia biasa dan bisa membuat kesalahan. Dengan membenci AA Gym, masyarakat sebenarnya sudah kehilangan seorang tokoh yang nasehatnya sangat santun dan nyaman didengar telinga semua kalangan umat.
Saya baru sadar, malam ke 15 Ramadhan ini, baru sore tadi saya dengar suara AA Gym. AA Gym laksana hilang ditelan bumi. Semenjak kontroversi tentang poligaminya segenap umat dan media nasional memboikot AA Gym. Sebelumnya AA Gym adalah daí termasyhur di republik ini. Di televisi swasta, di masjid-masjid kota, bahkan di jalan raya AA Gym tampil dengan berbagai kegiatan. AA Gym adalah idola bangsa. Pesantren dan bisnisnya berkembang pesat tak henti-hentinya menjadi bahan berita. Apalagi bulan Ramadhan seperti saat ini, di mana bulan inilah kegiatan dan rating para dai seperti AA Gym melonjak tajam. Tapi sekali lagi, semua seperti hilang bak ditelan bumi.
Hilangnya AA Gym dari mata dan telinga bangsa ini karena kekompakan media dalam memboikot AA Gym. Adalah menarik untuk mengetahui apa alasan media dalam memboikot AA Gym. Saya mencoba mencari alasan yang mungkin digunakan media massa dalam aksi pemboikotan ini sekaligus pendapat saya tentang alasan tersebut:
1. Alasan pelanggaran moral: logikanya adalah bahwa AA Gym sebagai idola umat telah melakukan dosa poligami. Sehingga pendosa tidak layak untuk ditempatkan dimakomnya. Makom AA Gym adalah dai, dan dai tidak lah melakukan dosa (persepsi didepan layar). Sehingga AA Gym tidak layak lagi disebut sebagai dai di depan layar kaca/media. Dengan demikian, tidak ada tempat bagi AA Gym di media karena lepasnya status AA Gym sebagai dai.
Saya kurang pas dengan alasan pemboikotan media karena pelanggaran moral. Bukankah media kita paling suka untuk menyiarkan pelanggaran moral berikut mengelu-elukan pelakunya?.
Saya tidak percaya bahwa dalam hal ini media membela kepentingan masyarakat, yaitu tidak menyiarkan apa yang tidak disukai masyarakat. Pada kenyataannya, media justru senang menyiarkan apa yang tidak disukai masyarakat sebagai suatu kontroversi. Dan kontroversi selalu laku, yang benci menonton, yang suka juga menonton.
2. Alasan rating: poligami yang dilakukan AA Gym membuat kecewa sebagian penggemarnya. Dengan hilangnya penggemar, maka AA Gym tidak lagi mempunyai nilai jual. Penayangan AA Gym tidak akan memberikan pengembalian dan keuntungan bagi media. Dalam hal ini media hanya menjalankan fungsinya sebagai pencari keuntungan.
Buat saya alasan ini juga kurang tepat. Mengingat AA Gym tidak sepenuhnya kehilangan penggemar. Masih banyak orang yang menghormati nasehat-nasehatnya. Apa yang muncul sebagai kebencian massal kalangan umat juga hanya lah berdasarkan persepsi liputan media dan statistik media.
3. Alasan lain. Saya kesulitan menyebutnya, tapi mungkin alasan terakhir ini berbau konspirasi. Bisa jadi ada yang berpikir bahwa saat itulah waktunya untuk membuat keadaan berbalik, dari terpuji menjadi tercela, dari prestasi menjadi prahara. Ketika AA Gym terbang menjadi idola, banyak yang berdecak kagum, banyak pula yang menjadi tidak suka. Mereka bisa siapa saja. Sulit bagi saya untuk menduga-duga tapi dugaan pembunuhan karakter tidak bisa saya nafikan begitu saja.
Alasan ini rasanya terlalu judgmental untuk dijadikan bahan argumentasi. Tapi tak apalah sekedar pelengkap.
Lantas kenapa massa memboikot AA Gym. Ah, massa, mereka hanya umat dengan suara mengambang. Media bilang bagus, umat juga akan bilang bagus. Media bilang buruk, umat juga nurut. Kalau media semangat menyiarkan, massa juga akan menikmati, kalau media memboikot, massa juga tidak peduli. Kalau pun umat dan media berbeda pendapat, suara umat tidak lah selantang suara media. Disinilah ironi terbesar bangsa kita. Menanglah mereka yang punya media.
Sambil rebah kembali, saya katakan pada Dokter Eka, “Too much love will kill you”, dengan sigapnya ia kembali menutup masker dan peralatannya pun siap ditangan.
Bagaimana pendapat anda?
DZ
14 Ramadhan, 26 September 2007
Comments
rating kaleee...
kan dewanya tv emang rating
bahkan siaran beliau di radio yg setiap pagi jam 5-6 pun udah gak kedengeran
lg (apa gwnya ketiduran?)
bahkan juga, bisnis beliau di bandung katanya udah mulai meredup, padahal
dulu sukses bgt.
saya sendiri salahsatu penggemar, pengagum dan sangat menghormati beliau.
inti yg selalu didengungkan beliau adalah " menyikapi segala sesuatu dengan
sikap terbaik"
Masya Allah, kalo setiap orang udah bisa menjalankan hal ini, Indonesia gak
jadi negara terkorup lagi deh.
kayanya, kondisi separah apapun selalu bisa dijawab dan diatasi beliau
dengan sikap terbaik, bahkan diambil hikahnya.
sumpeh, gw juga kehilangan beliau, sejak setahun terakhir ini.
sajian media yg nemenin sahur sekarang cuman para pelawak yg berusaha
melucu, gak lucu lagi, sumpah!!!
bayangin, isi dakwah Aa Gum digusur oleh lawakan doang?????
Satu lagi, beliau bukan cuma dai, tapi praktisi,
kami pernah menjalankan bisnis dengan beliau dan terkagum kagum dengan pola
dan prinsip bisnis beliau,
walaupun tetep ada kelamahannya, dan kelemahannya ini yg justru jadi
bumerang, yaitu pengkultusan Aa Gym.
Beliau sendri menyadari, bahwa selama ini, konsep dan konsekwensi dakwah
beliau terlalu terkonsentrasi di sosok beliau sendiri.
boleh jadi selama ini, orang-orang mendengarkan "Aa Gym" bukan "dakwah Aa
Gym"
sayangnya, penilaian masyarakat mengenai poligami dipelintir sedemikian
rupa,
sehingga seolah-olah, yang poligamy dosa besar, yang jelas-jelas berzina
jadi anggota dewan terhormat.
entah salah siapa, yg jelas, pemberitaan dan blow up media masa, menurut gw,
sangat berperan besar dalam kejadian ini.
pada saat kejadiannya, banyak sekali infotainment (yg selama ini dijadikan
acuan, panduan, dan kitab suci orang2 kita)
yang menampilkan komentar orang2 gak penting dan bukan orang2 yg kredibel
dalam masalah ini, sehingga kesannya rame2 menghujat Aa Gym, padahal mungkin
cuman orang2 itu aja yg mencaci, kebanyakan selebritis wanita, aktivis
feminisme, dll.
sungguh disayangkan, salah satu penyejuk dahaga udah berhasil disingkirkan
dari kehidupan kita.
salah satu dai yang "multi talented" udah ditendang dari keberadaan media
dan dari kehidupan kita sehari-hari
mungkin emang orang2 kita lembih mendewakan selebritis "Aa Gym" daripada Dai
"Aa gym.
atau mungkin lebih suka lawakan slapstik, murahan, kasar, sarkasme dan gak
lucu???
sayang sekali
just my 2 cents
dede
STA97
eh cuman kepingin tau,
apakah "menghilang" itu keinginan pribadi Aa Gymn atau bukan ?
soalnya kalo memang iya, barangkali saat ini Aa Gym tengah menikmati
situasinya..
(^^V
ari ams sta91
PS: juga fans nasehat aa gym. sepanjang yang ane dengar itu tetep bener dan
adem kayak biasanya, insya Allah ane dengerin dan ambil hikmahnya
Dikky,
Sebagai "outsider", boleh ya saya urun berpendapat. Menurut saya, AA Gym justru bisa menjadi "besar" (baca:populer) justru karena media massa. Fenomena nya rasanya hampir sama dengan U-Je, dan lain lain yang kalo boleh dibilang sudah menjadi Da'i Selebritis. Dan jadinya, sebagaimana selebrities lainnya (yang non Da'i), semudah itu media massa menjunjung/mengangkat nya, semudah itu juga media menjatuhkannya.
Akan berbeda kalau kita boleh membandingkan AA Gym, U-Je dengan Emha, atawa Mohammad Sobary yang punya "penggemar" yang lebih mengakar. Peran media tidak sebesar terhadap AA Gym, jadi akan lebih sulit "dihukum" media.
Artikel di bawah mungkin bisa lebih menjelaskan dengan baik.
Maaf kalau ada yang kurang berkenan
Salam,
Indriyanto
==================================================================================
LAPORAN UTAMA (Pikiran Rakyat,Sabtu, 22 Oktober 2005)
Agama+Budaya Populer=Manusia Massa
"Agama itu bukanlah kebudayaan massa yang hanya melahirkan manusia massa, tapi untuk membuat orang merasakan pengalaman autentik dan pengalaman eksistensialnya. Untuk berkontemplasi secara individual dan untuk bersama-sama membangun kesalehan sosial," ujar budayawan Saini KM.
"BERBUKALAH dengan yang ma-nis." Begitu teks iklan sebuah merek produk minuman teh botol. Teks iklan ini menarik karena hanya muncul setahun sekali, yakni setiap bulan Ramadan. Kalimat yang dipakainya juga menarik, ditujukan untuk mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa dengan meniru nada kalimat khas dalam perintah-perintah agama. Teks iklan tersebut memberi penjelasan tentang apa yang dimaksudnya dengan "yang manis itu", tentu saja bukan buah kurma, melainkan produk minuman teh tersebut. Maka agaknya menjadi jelas, bahwa iklan tersebut dengan sangat cerdas bukan hanya tahu pada siapa teks itu ditujukan, tapi juga bagaimana menyampaikannya dengan menjadikan semangat keagamaan sebagai kendaraan yang sesuai dengan konteks waktu dan ruangnya. Meski pun dengan risiko hanya bisa muncul selama bulan Ramadan, namun lewat peniruan nada kalimat perintah semacam itu, teks tersebut menjadi sangat efektif.
Tapi, teks iklan semacam itu hanyalah satu dari sekian banyak peniruan atau pemakaian nuansa-nuansa keagamaan yang sifatnya temporal, seperti dalam bulan Ramadan ini. Produk lainnya, seperti minuman, pakaian, shampo, makanan, minuman suplemen, hingga industri hiburan di media-massa, mengerti benar bagaimana caranya menggunakan spirit keagamaan untuk memperlengkapi efektivitas dan sugesti komunikasinya. Spirit keagamaan yang ditiru, dipinjam, dan dipakai juga bukan hanya yang tersirat seperti nada kalimat dalam teks iklan teh botol tersebut. Tapi juga yang menggunakan aksesori keagamaan yang dikenakan oleh para selebritis yang menjadi bintang iklannya. Termasuk bagaimana ketika sebuah restoran fastfood memodifikasi tubuh dan penampilan pelayan wanitanya dengan memakai jilbab selama bulan Ramadan.
Bahkan tak hanya itu, para dai yang jadi idola pun ditampilkan untuk membuat citraan dan mensugesti sebuah produk yang diiklankan, lengkap dengan penampilan khasnya sambil mengutip dan menyampaikan potongan dakwah tentang ibadah puasa. Memang tak jelas benar, apa hubungannya potongan dakwah ibadah puasa dengan produk yang diiklankan itu? Tapi tentu saja pertanyaan semacam itu tidak lagi menjadi penting, sebab tujuannya memang hanyalah menampilkan sosok sang dai yang sedang jadi idola tersebut. Seperti setiap bulan Ramadan, begitulah yang selalu terjadi ketika ritual-ritual keagamaan sedang dirayakan. Ritual dan kesakralan yang dimengerti benar oleh perangai para pedagang yang menggunakannya menjadi komoditas. Betul memang, kalau dikatakan itulah tabiatnya para pedagang. Mereka memiliki "ritual"-nya sendiri, yaitu menjadikan segala sesuatu menjadi komoditas, menjadi nilai tukar alias keuntungan.
Tapi yang lantas menjadi persoalan adalah ketika perangai itu telah memosisikan kesakralan dan spirit agama tidak lagi sebagai persentuhan dan perjumpaan orang dengan sesuatu yang bersifat di luar duniawi. Sebaliknya seluruhnya terperangkap dalam ruang duniawi kesehari-harian yang pragmatis dan permukaan dengan psiko-kultural yang massif dan homogen. Media-massa elektronik dengan citraan visualnya seperti televisi, yang dibayangkan memiliki kekuatannya untuk mengomunikasikan syiar dan spirit keagamaan, telah membuat wajah agama melulu hanya sebagai tontonan; fashion, hiburan, dan keterpesonaan yang menyingkirkan subsantasi serta kedalamannya. Tak terkecuali peristiwa-peristiwa ritual di dalamnya yang melulu hanya mengeksploitasi kadar emosional massa.
**
INILAH wajah agama dalam praktik-praktik budaya populer. Wajah yang kehilangan ruang otonomnya. Wajah yang tak lagi menyediakan tempat bagi setiap orang untuk merasakan sebuah pengalaman eksistensial dan individual yang paling otentik. Setiap orang di dalamnya telah menjadi bagian dari manusia massa. Dalam konteks Indonesia, sialnya, kenyataan manusia massa semacam ini bukan hanya sebagai yang memang telah menjadi tujuan dari semangat budaya industri. Melainkan juga telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah sosio-psiko-kulturalnya, seperti yang banyak tampak dalam berbagai peristiwa sosial-politik sejak dulu. Dan agaknya inilah juga yang tak hanya membuat budaya industri, yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya populer, mendapatkan keleluasaan membangun manusia massa. Namun yang sebaliknya juga membuat agama itu sendiri menyerahkan dirinya untuk "dibentuk" dalam dunia yang serba profan tersebut.
"Agama itu bukanlah kebudayaan massa yang hanya melahirkan manusia massa, tapi untuk untuk membuat orang merasakan pengalaman otentik dan pengalaman eksistensialnya. Untuk berkontemplasi secara individual dan untuk bersama-sama membangun kesalehan sosial," ujar budayawan Saini K.M..
Di tengah budaya populer, wajah agama telah dicemari oleh berbagai kepentingan komersialisisasi. Tentu saja pada batas tertentu bersifat komersil bisa dipahami, seandainya saja seluruhnya itu tidak lantas membuat wajah agama hanya melulu menjadi hiburan dan komoditas. Dan inilah yang dalam pandangan Saini K.M. menjadi sesuatu yang berbahaya bahkan mencemaskan. Termasuk ketika wajah manusia massa dalam agama dan praktik-praktik budaya populer itu melahirkan berbagai pengidolaan pada sosok penampilan para kiai, dai, ustaz atau mubalig, yang dijadikan komoditas berikutnya oleh ideologi media-massa.
Hal inilah yang juga menjadi pandangan Yasraf Amir Piliang, yang mencermatinya dari konteks bagaimana agama di hadapan budaya populer dan budaya massa yang tidak lagi menjadi sebuah lembaga otonom. Penampilan para kiai, dai, ustaz, dan mubalig harus mengikuti logika penampilan itu sendiri menurut ukuran budaya populer, yakni logika fashion yang harus tanggap terhadap tren. Pakaian, aksesori, gaya bahasa, cara bicara, dan bahasa tubuh mereka kini lebur di dalam budaya populer.
"Mereka kini kehilangan identitas dengan mencemplungkan diri ke dalam arus perubahan perubahan identitas yang dikonstruksi oleh budaya fashion. Ini menunjukkan bahwa agama tidak lagi "membentuk" dunia media, fashion, dan penampilan. Tapi sebaliknya menyerahkan diri dan "dibentuk" oleh dunia profan tersebut," ujarnya, seraya menambahkan bagaimana di tengah masyarakat kontemporer telah terjadi despritualisasi agama.
Pandangan Yasraf ini mau tak mau membawa ingatan kita pada bagaimana terjadinya perubahan besar dalam peradaban dan kebudayaan, dan posisi agama itu sendiri yang pernah menjadi kekuatan yang membentuknya. Sebaliknya hari ini, praktik-praktik budaya populer itulah yang mengonstruksi wajah agama dalam kenyataan yang tak lagi dalam sifatnya yang berada di luar segala sesuatu yang sifatnya duniawi. Wajah yang penuh dengan manusia massa.
Manusia massa memiliki tabiat yang mudah terperangkap dalam pengidolaan yang dijadikan komoditas oleh budaya populer. Dan inilah yang menurut Saini K.M. harus diubah, disadari dan ditolak oleh para kiai, dai, ustaz, mubalig, atau para pemuka agama lainnya. Pengidolaan yang kemudian mendekati pengultusan itu berpotensi menjadi pemusyrikan serta pemberhalaan. "Dan inilah yang dijual oleh media, bukan substansinya."
Sikap pengidolaan dan potensi pemusyrikan serta pemberhalaan terhadap para dai, ustaz, kiai, dan mubalig lewat budaya populer seperti yang dicemaskan Saini K.M. memang bisa saja mengingatkan orang pada bagaimana hal itu juga tak ada bedanya dengan kharisma atau pemitosan mereka dalam lembaga tradisi semacam pesantren, misalnya. Bila yang pertama posisi itu dikontruksi oleh media massa dengan segenap citraan penampilannya, maka yang kemudian biasanya didapat dari garis keturunan. Namun demikian, bila yang satu muncul dari kepentingan ideologi budaya industri sehingga menyerupai sebuah garis komando yang dirancang dari "atas", maka kharisma yang kedua justru lahir dari "bawah", dari tradisi dan budaya komunitas masyarakat itu sendiri yang terus berlangsung dengan kepentingan yang berbeda.
**
FENOMENA pengidolaan dan hubungannya dengan kepentingan ideologi media, seperti ditengarai Saini K.M. memang menjadi sesuatu yang menarik dan belum pernah terjadi semasa generasi tokoh kharismatik seperti Buya Hamka, Z.E. Muttaqien, Zakiah Darajat, dan sejumlah kiai, dai, dan mubalig terkenal lainnya dalam periode sekira tahun 1970 dan 1980-an. Serbuan media massa elektronik masa itu memang belum menjadi fenomena seperti hari ini, ketika para kiai, mubalig, ustaz atau dai, tampil fashionable bersama para selebritis dalam berbagai program tayangan yang memikat, bahkan dalam konser musik pop. Tak jelas benar, apakah fenomena pengidolaan ini juga yang menyebabkannya menjadi komoditas hingga munculnya ide seperti kontes dai muda sampai anak-anak di beberapa stasiun TV, meniru kontes semacam AFI, KDI, dan Indonesian Idol.
Menyampaikan dan mengomunikasikan spirit agama (dakwah) tentu memerlukan strategi, mengikuti berbagai perubahan dan perkembangan. Dan wajah budaya populer mungkin juga tak seluruhnya penuh ancaman bagi lenyapnya substansi kesakralan agama. Dengan berbagai kelebihannya, sebaliknya budaya populer juga bisa menyediakan ruang lebih yang leluasa untuk mengomunikasikan kesakralan spirit agama dalam berbagai kecenderungan bentuk pengemasannya. Inilah yang menurut Saini K.M. harus dicari bentuk bagaimana mengemasnya, sehingga tidak terjadi apa yang dicemaskannya ketika wajah agama dalam praktik budaya populer hari ini hanya melulu menjadi komoditas, pengidolaan, dan telah turut memperkokoh terbentuknya proses manusia massa yang mudah digerakkan demi berbagai kepentingan. Dalam budaya populer, salah satu kepentingan itu tentu saja adalah budaya konsumsi.
Proses ini juga di seberang lain, tengah terjadi dalam wajah berikutnya, yakni neo-tribalisme dan fundamentalisme, ketika agama dengan manusia massa di dalamnya lebih menampilkan dirinya sebagai fanatisme kekuatan serta kekerasan yang hendak selalu memonopoli tafsir kebenaran. Di situ bukankah agama, dengan seluruh nuansa dan atribut spiritnya, yang menjadi doktrin bagi terbentuknya manusia massa, lagi-lagi berpotensi untuk dijadikan komiditas atau kendaraan untuk berbagai kepentingan? Termasuk dalam kepentingan untuk menyingkirkan dialektika kebenaran agama. (Ahda Imran)***
gw yakin, Aa Gym juga punya "penggemar" yg lebih mengakar, Om Indri.
dan gw yakin banyak yg merasa kehilangan beliau.
okelah, beliau dibesarkan dan diciutkan sampai hilang oleh media masa,
tetapi, inti dan konteks yg dibawa beliau sebagai Dai, menurut saya,
lebih bisa menjawab permasalahan yang ada, bukan cuma berdakwah,
terus sembunyi dibalik mesjid.
yang perlu disayangkan, justru pembunuhan karakter oleh media masa,
yang membuat beliau tidak punya alat dakwah yg paling poluler lg,
karena, mungkin, ya seperti Om bilang, media hanya menjual selebritis, bukan
substansi.
mungkinkah ada sisi religi yg diusung media ketika saat Ramadhan,
selebritis rame2 pake jilbab/koko dan lagu2 islami,
dan kemudian selepas Ramadhan, kembali berpose setengah telanjang???
mengenai implikasinya, yg berbentuk pengidolaan, dan berlanjut dengan iklan
dan segala macem,
para dai yg beriklan mungkin hanya memanfaatkan pasar dan ketenaran, akan
tetapi, kayanya
jarang liat iklan produk yg menampilkan sosok Aa gym, Iklan yg sering
digembar-gemborkan Aa Gym
kebanyakan berkaitan dengan kegiatan pesantrennya dan core-bisnisnya
sendiri, bukan dimanfaatkan produk orang lain.
saya rasa wajar kalo setiap pengusaha mengiklankan diri dan produknya kan?
terlepas dari itu semua, dimanakah lagi orang akan mencari oase kehidupan?
lepas dari kesibukan sehari hari dan kembali ke pembelajaran dan pencarian
jati diri?
gw pernah coba ESQ Learning center.cukup inspiring & enlightening.
ada yg pernah coba?
any comment?
dede
STAN97
gw yakin, Aa Gym juga punya "penggemar" yg lebih mengakar, Om Indri.
dan gw yakin banyak yg merasa kehilangan beliau.
okelah, beliau dibesarkan dan diciutkan sampai hilang oleh media masa,
tetapi, inti dan konteks yg dibawa beliau sebagai Dai, menurut saya,
lebih bisa menjawab permasalahan yang ada, bukan cuma berdakwah,
terus sembunyi dibalik mesjid.
yang perlu disayangkan, justru pembunuhan karakter oleh media masa,
yang membuat beliau tidak punya alat dakwah yg paling poluler lg,
karena, mungkin, ya seperti Om bilang, media hanya menjual selebritis, bukan
substansi.
mungkinkah ada sisi religi yg diusung media ketika saat Ramadhan,
selebritis rame2 pake jilbab/koko dan lagu2 islami,
dan kemudian selepas Ramadhan, kembali berpose setengah telanjang???
mengenai implikasinya, yg berbentuk pengidolaan, dan berlanjut dengan iklan
dan segala macem,
para dai yg beriklan mungkin hanya memanfaatkan pasar dan ketenaran, akan
tetapi, kayanya
jarang liat iklan produk yg menampilkan sosok Aa gym, Iklan yg sering
digembar-gemborkan Aa Gym
kebanyakan berkaitan dengan kegiatan pesantrennya dan core-bisnisnya
sendiri, bukan dimanfaatkan produk orang lain.
saya rasa wajar kalo setiap pengusaha mengiklankan diri dan produknya kan?
terlepas dari itu semua, dimanakah lagi orang akan mencari oase kehidupan?
lepas dari kesibukan sehari hari dan kembali ke pembelajaran dan pencarian
jati diri?
gw pernah coba ESQ Learning center.cukup inspiring & enlightening.
ada yg pernah coba?
any comment?
dede
STAN97
Mohon ijin, numpang lewat.
Juga sebagai seorang "outsider", dulu setiap minggu pagi, saya adalah penikmat setia acara Aa Gym di (klo gak salah) Indosiar. Isi dakwah beliau sangat universal, bisa masuk ke seluruh lapisan yang "homogen" atau bahkan masuk ke relung kalbu "outsider" seperti saya. ini beneran lho,asli.....
Kalau saya yang bebal dan bloon begini bisa menikmati nasihat2 beliau, rasanya kumpulan "heterogen" lainnya juga mungkin ada yang seperti saya.
Yang agak berbeda adalah, ketika beliau "tidak muncul" lagi, saya tidak begitu kehilangan, karena saya "outsider?", bisa jadi begitu, tapi setelah saya pikir2, saya sampai pada kesimpulan:
1. Saya memang menikmati "isi" beliau, bukan beliau,
2. Mungkin sebagian besar yang beliau sampaikan "ada" dalam kita sendiri, jadi kalau kita masih "ada", rasanya tidak "ada" yang hilang...
Mengenai media, rasanya kita semua sepakat, satu-satunya faktor pendorong lenyapnya beliau dari sana adalah persoalan bisnis saja, ya...rating, apalagi. Mana mungkin media menayangkan sesuatu yang "tidak menarik" (baca: laku dijual) kepada audience nya? Terlepas dari definisi "tidak menarik" itu seperti apa, media dalam banyak hal ikut saja.Lagi tren mistis...ayo bikin sinetron mistis, lagi tren talkshow "aneh", yukkk ikut. Satu beli hak cipta idol..yang lain ikut bikin....dengan segala modifikasinya. Tetap sech ada tersisa sedikit idealisme jurnalistiknya, tapi porsinya berapa men?
Nah kalo udah begitu...apa masih bisa kita katakan siapa yang menghukum siapa. Harus kita akui memang beginilah masyarakat kita, sebagian besar (rasanya sech, dan mudah2an tidak termasuk kita) masyarakat kita memang menikmati slapstik, lawakan yang gak lucu, mistik, fantasi...dst.
Bukan karena apa2, semata memang sampai disitulah "batas cerna" sebagian masyarakat kita. Sedih memang, tapi ya begitulah (mudah2an saya salah).
Media akhirnya "terpaksa" harus berebut pangsa terbesar ini.
Nah, sebagian dari kita (kali ini saya yakin, soalnya latung, ginting, mas narso, Ko Huda, yazid, alex dll gak suka sinetron, apalagi si entong) lebih menikmati berita, seputar indonesia, atau apa lagi, metro tv, klo yang sedikit beruntung bisa menikmati discovery, national geographic, animal planet...hehe.
Terakhir saya justru khawatir, klo kita sedemikian concern dengan "hilangnya" Aa Gym, apa rasanya kita tidak mulai terseret ke pengkultusan baru. Kalau saya, sekali lagi, ini kalau saya lho, lebih menikmati "isi" beliau. Dan rasanya saya sampai saat ini tidak pernah kehilangan beliau, karena, mudah2an "isi" yang beliau sampaikan tetap bersama kita. Hehe....Nyambung Gak?
Mohon koreksi, terimakasih.
Ripman
STA/91