Subprime dan Gelombang Cinta
Saat ini Amerika sedang dilanda krisis ekonomi yang dipicu oleh banyaknya kredit kepemilikan rumah kategori menengah bawah yang gagal bayar. Yang mengerikan, krisis tersebut akan merambat ke ekonomi negara-negara lain, termasuk Asia.
Kredit kepemilikan rumah tersebut dikenal sebagai subprime. Subprime adalah jenis kredit dengan syarat yang longgar sehingga menyasar para debitur yang memiliki risiko yang tinggi untuk suatu pendanaan jangka panjang.
Secara substansi, jenis pendanaan subprime merupakan pendanaan kepada debitur kelas dua dengan bunga yang lebih tinggi yang secara otomatis meningkatkan risiko default. Risiko subprime menjadi bertambah dengan adanya fasilitas dari kreditur bahwa rumah yang dibeli dengan cicilan bisa dipakai sebagai agunan di bank untuk mendapatkan pinjaman. Hal tersebut disebabkan oleh adanya persepsi naiknya harga pasar rumah dari waktu ke waktu dengan nilai yang cukup signifikan. Adanya kemudahan mendapatkan kredit properti subprime bagi nasabah ditambah lagi iming-iming return investasi properti yang tinggi, menjadikan subprime sangat diminati nasabah. Kondisi tersebut menimbulkan suatu gelembung (bubble) dan pada akhirnya gelembung tersebut meletus sejalan dengan jatuhnya nilai properti di Amerika. Lebih parah lagi, ternyata subprime dijadikan sebagai acuan pokok bagi produk-produk derivatif yang marak diperjualbelikan dengan melibatkan investor global. Tumbangnya subprime memberikan efek kebangkrutan unit-unit investasi dari perusahaan investasi di Amerika dan penjuru dunia. Kita di Indonesia, tinggal menunggu seberapa parah kasus di atas terhadap ketahanan ekonomi kita.
Paling tidak dari kasus subprime di Amerika tersebut ada dua pelajaran yang dapat diambil yaitu (1) ketidakhati-hatian dalam pemberian kredit yang dilakukan oleh lembaga perbankan maupun non perbankan, (2) penciptaan persepsi akan prospek kenaikan harga yang tidak dikendalikan dan pada akhirnya menjadi gelembung yang kemudian akan meledak.
Ada baiknya perhatian terhadap fenomena global tersebut kita alihkan kepada fenomena lokal yang lebih kecil. Ia adalah gelombang cinta. Gelombang cinta adalah jenis tanaman anthurium yang sekarang sedang naik daun dan dihargai dengan nilai yang fantastis. Di salah satu tabloid tanaman, sebuah anthurium gelombang cinta tongkol 8 ditawarkan dengan harga 80 juta rupiah!. Jangan kaget dulu, karena jenis yang lain yaitu anthurium jemanii naga tembus di harga 200 juta!, wedan tenan!.
Keberhasilan anthurium dan jenis tanaman-tanaman koleksi lain dalam menciptakan persepsi nilai dan mengangkat harga merupakan kejelian dan kerja keras dari para kolektor dan pedagang tanaman tersebut dengan didukung all out oleh media massa, khususnya tabloid-tabloid tanaman hias. Mereka benar-benar memahami marketing mix sehingga sebuah tanaman yang tidak berarti apa-apa di mata saya dan orang awam, laku dijual dengan harga diluar dugaan. Saya pernah coba tanyakan fenomena tersebut kepada kakak saya yang menjadi pedagang dadakan tanaman hias, jawabannya singkat, ini hanya masalah hoby dan kesenangan. Hebat kan orang Indonesia.
Saya menduga fenomena meroketnya harga tanaman seperti anthurium hanya bersifat sementara. Fenomena tersebut menciptakan gelembung baru, dan kemudian akan pecah. Mereka yang akan dirugikan adalah yang terlambat masuk dalam pesta tanaman hias. Seperti kata orang, pesta pasti akan berakhir.
Timbulnya balon dan kepecahannya sudah pernah dialami oleh ikan louhan. Tentunya pembaca ingat ikan dengan mahkota dan mirip tulisan kanji di badannya yang katanya mendapatkan hoki bagi pemiliknya. Pada waktu ikan tersebut naik daun, ikan seharga Rp 100jt pun banyak diperdagangkan. Dengan berbagai khasiat dan penafsiran, harga ikan louhan melebihi ekspektasi siapapun. Tapi lihatlah sekarang. Gelembung louhan telah pecah dan tidak ada yang bisa dipersalahkan.
Tentu saja fenomena gelembung anthurium dan ikan louhan tidak sebanding dengan fenomena kenaikan harga properti di Amerika maupun dengan fenomena gelembung dotcom yang telah meledak tahun 2000 lalu. Tapi paling tidak, para konsumen maupun investor harus waspada dan tahu kapan masuk dan kapan harus keluar.
Saat ini, harga properti di Jakarta pun sedang digoreng sedemikian rupa. Dengan didukung pendanaan dari bank yang seakan-akan tidak ada batas, berbagai jenis mega proyek pengembangan properti tengah mengejar masa depannya. Membeli properti telah dikampanyekan sedemikian rupa dengan suatu iming-iming hasil investasi terbaik di masa mendatang. Kredit di sektor ini pun dapat memberikan bunga yang relatif murah sehingga terbuka kesempatan lebar untuk mendapatkan konsumen-konsumen baru. Asalkan saja pelaku properti dan perbankan sadar dan mau belajar dari kasus subprime, maka pihak perbankan akan lebih hati-hati dan tidak membuka kategori pinjaman dengan nama subprime. Namun ternyata kondisi overlikuiditas dan persaingan ketat industri perbankan saya ramalkan bakal menjadi alasan mereka untuk habis-habisan mengejar nasabah, walau itu nasabah kelas dua.
Bagaimana pendapat anda?
(Lihat definisi subprime di bawah)
DZ
Definisi subprime yang saya dapatkan di Wikipedia: “Subprime lending atau juga dikenal sebagai Surat Utang Peringkat B adalah istilah yang digunakan pada praktek pemberian kredit kepada peminjam (debitur) yang tidak memenuhi persyaratan kredit untuk diberikan pinjaman berdasarkan suku bunga pasar oleh karena debitur tersebut memiliki "catatan kredit" yang kurang baik. Kredit subprimer ini sangat beresiko baik bagi pemberi pinjaman (kreditur) maupun bagi peminjam (debitur) oleh karena kombinasi antara tingginya suku bunga yang dikenakan, catatan kredit yang buruk, dan kerap kali dalam permohonan kredit ditemui pula situasi keuangan debitur yang kurang baik.
Sebab tingginya resiko yang dihadapi pemberi pinjaman maka kredit subprima ini ditawarkan dengan pengenaan suku bunga yang lebih tinggi daripada suku bunga kredit yang berlaku secara umum bagi kredit dengan peringkat "A" (A-paper). Pinjaman subprima dapat ditemui pada berbagai instrumen kredit termasuk juga pada kredit pemilikan rumah, kredit pemilikan mobil, kartu kredit, dan lain-lain.
Pemrakarsa kredit subprima ini di Amerika sangat berperan besar dalam peningkatan kredit kepada konsumen yang tidak memiliki akses ke pasar kredit. [1] . Namun para penentang mengecam industri kredit subprima ini sebagai suatu praktek lintah darat yang mencari sasaran debitur yang tidak memiliki daya untuk melunasi pinjamannya dalam jangka yang lama.”
Comments