Bisa Menjadi Terbaik Kedua
Suatu sore dalam perjalanan udara menuju Jakarta, saya bersebelahan dengan seorang Taruna Akademi Kepolisian. Sore itu, rombongan taruna Akpol memang tengah menikmati masa libur mereka di akhir minggu. Obrolan ngalor-ngidul tentang kepolisian membawa si Taruna pada suatu pernyataan yang menarik. Ketika membahas tentang kualitas SDM polisi, ia justru memberikan salut kepada rekan mereka di Kopasus. Dengan penuh kebanggaan ia katakan bahwa Kopasus adalah pasukan elit terbaik kedua setelah Garda Revolusi Iran. Kopasus menjadi hebat karena digembleng dengan baik oleh instruktur-instruktur Republik ini. Ia menambahkan bahwa orang Indonesia adalah paling hebat dalam hal membentuk mentalitas prajurit. Ia membeberkan bukti-bukti pernyataannya tersebut. Saya manggut-manggut, hanya berpikir bahwa di sekolahnya sana, si Taruna pasti digembleng keras dan ditanamkan kebanggaan tinggi sebagai seorang Polisi dan bangsa Indonesia.
Terlepas dari benar tidaknya klaim Taruna tersebut di atas, malam itu saya tercerahkan. Ini lah yang bangsa ini butuhkan, suatu keyakinan, dan patriotisme!, kebanggaan dan kepercayaan diri sebagai suatu bangsa yang besar, mempunyai sejarah besar, dan mempunyai cita-cita besar!!.
Beberapa waktu lalu ketika SBY berada di Amerika Serikat untuk sidang majelis umum PBB, SBY menyempatkan bertemu dengan WNI yang tinggal di Amerika. Dalam pernyataannya, SBY menyesalkan banyaknya sikap rendah diri dan minder bangsa Indonesia dalam berhadapan dengan pergaulan global. Banyak masyarakat Indonesia yang selalu menjelek-jelekan bangsa dan selalu menganggap bangsa lain lebih baik bahkan tidak ada kurangnya dibandingkan bangsa sendiri. Demikian juga JK, beberapa hari lalu ketika berhadapan dengan para pengusaha Indonesia, JK menyatakan keprihatinannya terhadap anggapan bahwa kontraktor asing selalu lebih baik dari kontraktor lokal.
Tanpa sadar, kita sudah terbiasa mendengar dan mengungkapkan inferioritas kita sebagai sebuah bangsa. Di forum akademi, di panggung politik, di media massa, di milis-milis, dalam obrolan dan diskusi, kita tidak segan menyumpah serapah diri kita dan bangsa kita. Jangan-jangan karena kebiasaan di atas, otak kita terkena polusi, dan menjadi stigma dan keyakinan bahwa kita memang begitu rendah dibandingkan bangsa lain. Dalam artian kita sudah terinstitusionalisasi sebagai bangsa Indonesia kelas kambing. Ironinya, karena hal tersebut, ketika kita bicara dan bermimpi untuk keluar dari lobang gelap ini, segenap komponen bangsa menarik-menarik untuk kembali. “Tidak usahlah bermimpi macam-macam, tempat kita memang disini. Kita memang importir teknologi, eksportir komoditas tanpa nilai tambah, penerima bantuan dan santunan, pengusir cendekia (brain drain), pembiak koruptor”. Ketika berbicara teknologi nuklir, yang kata Ahmadinejad adalah lambang keberhasilan pencapaian teknologi tinggi, kita minder. Katanya orang Indonesia ceroboh lah, sok bisa lah, tidak punya disiplin lah. Berbicara tentang teknologi dirgantara, juga minder. Katanya bikin mobil saja tidak bisa, menghabis-habiskan anggaran, tidak membumi. Macam-macam saja. Akibatnya adalah sekarang, teknologi rendahan seperti televisi pun tidak banyak yang berani buat, lebih senang import. Bicara teknologi tinggi apalagi, mimpi di siang bolong. Pantas saja banyak ahli dan kampium teknologi kabur ke negeri orang untuk mencari peruntungan.
Pendapat saya, inferioritas di atas hanyalah akibat karena kita tidak mampu berprestasi. Kita tidak mampu memusatkan energi kita untuk melakukan penelitian, penemuan, pembelajaran, dan penguasaan. Padahal bangsa lain, seperti Malaysia, berhasil melakukannya dengan baik sehingga kita hanya bisa mendongak melihat mereka.
Masalah terbesar jaman dulu adalah bahwa kita dijajah oleh Belanda. Setelah lepas dari penjajahan, sebagian penguasa dan elit berubah menjadi penjajah baru dan kembali menghisap darah rakyat sebagaimana yang dilakukan Belanda. Tapi, lupakan hal itu!. Hadapi masalah aktual kita sekarang, dengan kembali kepada bahwa kita tetap belum mampu berprestasi di jaman SBY ini.
Saya tidak berpikir muluk. Mari kita mulai dan perkuat dari hal yang kecil, dari diri sendiri dan dari sekarang!. Sekali lagi, penyakit kita yang sebenarnya bukanlah inferioritas, sampai batas tertentu penyakit itu ada, tapi saya yakin kita bisa menyembuhkannya dengan cepat. Penyakit kita adalah kurangnya konsentrasi untuk bekerja cerdas dan mengejar prestasi. Bahasa nasionalisnya adalah kita kurang patriotik dalam memperjuangkan nasib dan mimpi pribadi, apalagi bangsa.
Charles Darwin mengatakan “The highest possible stage in moral culture is when we recognize that we ought to control our thoughts”. Pengejaran kita akan prestasi ternyata terganggu oleh banyak hal. Salah satunya adalah bahwa kita terganggu karena lebih senang memikirkan diri sendiri, lebih banyak meluangkan waktu untuk kesenangan dan konsumerisme. Kita lebih cinta TV daripada buku, kita lebih sering ke pusat perbelanjaan daripada ke pusat keilmuan. Kita lebih banyak melamun untuk mobil baru, rumah baru, handphone baru, berbagai hal yang sebenarnya kita tidak butuh tapi kita berpikir untuk memiliki. Sederhana bukan, masalah besar itu ternyata hanyalah kebiasaan kecil yang sehari-hari kita lakukan. Kita melakukannya bukan tanpa alasan, kita hanya tidak bisa mengontrol pikiran kita, sehingga akhirnya terdorong untuk tidak berpikir, alias bersantai, melamun, dan bersenang-senang.
Bayangkan yang kecil saja, yaitu apabila kita bisa memanfaatkan waktu nonton TV kita, waktu jalan-jalan kita, untuk berbicara lebih baik dengan istri, anak, rekan kerja, untuk mengeksplorasi kemampuan pribadi kita. Saya yakin, kita akan menemukan potensi lebih diri kita. Dan selanjutnya, kumpulan orang-orang berpotensi ini akan menjadi sumber daya bangsa untuk berprestasi.
Seperti orang yang melakukan stretching, dengan menggapai tangan ke atas setinggi mungkin, effort pertama kita adalah tinggi di mana kita berpikir kita mencapai batas ketinggian. Tetapi effort berikutnya, adalah suatu ketinggian yang tidak kita bayangkan sebelumnya kita bisa capai, dan ternyata kita bisa mencapainya.
Bagaimana cara anda berprestasi?
Dz
1 Oktober 2007
Comments