Musik Tanpa Gincu


"Jika sudah bicara soal musik, bahasa bukan lagi halangan," kata Ketua Kofice Shin Hyun-taek. Kofice adalah penyelenggara Asia Song Festival 22 September 2007 lalu di Seoul Korea Selatan. Indonesia diwakili oleh Peterpan dalam festival ini. Selain Indonesia, negara lain yaitu Korea, Taiwan, Jepang, Thailand, Vietnam, Filipina, dan China mengirimkan wakil masing-masing.

Pada awalnya memang demikian, musik adalah bahasa universal yang mudah dipahami siapa saja dengan bahasa ibu yang berlainan. Buktinya lagu Aserege yang dinyanyikan oleh Las Ketcup kwartet asal Spanyol dengan mudah bisa kita terima dan kita idolakan. Sampai dengan saat ini, arti Aserege itu apa saya yakin kita tidak tahu. Tapi kalau lagunya disetel, kita goyang saja mengikuti irama.

Waktu SMP, teman-teman yang satu kohort dengan saya mungkin pernah dengar atau suka lagu hip hop judulnya We want some pussy. “Heeeey we want some puusssyyyy!!”, begitu waktu itu nyanyinya. Penggemar lagu tersebut di Indonesia, termasuk saya, saya yakin tidak tahu apa arti dan maksud lagu tersebut. Tapi lagu tersebut tetap saja dinyanyikan dan menjadi hits. Kata orang, pussy di lagu tersebut dimaksudkan kepada hal-hal yang berbau erotisme dan sex. Tapi sekali lagi, pendengar lagu tersebut lebih tertarik kepada musiknya dibandingka apa arti lagunya.

Keuniversalan musik bukan hanya karena musik tersebut berbahasa asing. Musik lokal pun seringkali dicintai dan disukai bukan karena liriknya. Musik tersebut begitu pas diterima telinga sehingga menjelma menjadi suka. Seringkali kita mendendangkan musik, baik di kamar mandi, atau di tempat lain, tanpa perlu memahami apa makna lagunya, walaupun itu bahasa kita. Kita ikut saja apa yang dikatakan penyanyi, dan menjadikan lirik tersebut hanya sebagai alat untuk memainkan irama musik seperti sang penyanyi.

“Oo kamu ketahuan, pacaran lagi, dengan dirinya, teman baikku”… begitu lagu itu terdengar di radio, serentak saya ikut bernyanyi dan bergoyang. Saya pun merasa tidak perlu tahu apa lirik sesudah dan sebelum lagu tersebut. Lucunya dahulu di depan mantan saya mengatakan suka lagu Potret yang berjudul Terbujuk, sambil mendendangkan iramanya, karena asli tidak tahul liriknya. Akibatnya mantan marah. Ternyata liriknya adalah “slalu kubilang aku tak sebaik kau pikir, tak pernah kunantikan kamu, kucinta kamu bukan berarti ku tak mendua, sayang kau nilai aku salah”. Itulah beda penikmat musik dan penterjemah lagu.

Musik dikatakan sebagai bahasa universal karena tiga alasan,(1) musik terdiri dari 7 nada utama. Walaupun sebutannya di penjuru dunia berlainan, namun bagi seorang pemusik, perbedaan tersebut sama saja, (2) musik sebagai suatu seni dapat menyentuh perasaan pendengarnya yang terdalam. Kita tidak perlu menjadi seorang psikolog untuk memahami musik. Kita memahami musik secara instan, (3) musik bisa mengekpresikan emosi kita, baik itu sedih, bahagia, maupun marah.

Tapi tunggu dulu, musik tanpa lirik bisa dikatakan sebagai “gadis cantik tanpa gincu”. Si gadis cantik memang sudah cantik dari sononya, walaupun tanpa gincu. Dan bisa dinikmati kecantikannya sebagai keindahan universal. Tapi dengan menggunakan gincu yang sesuai, ia akan tampil lebih cantik dan menawan. Sebaliknya, bisa saja gincu berlebihan, sehingga justru kecantikan si gadis berkurang.

Orang yang mempunyai kenangan manis di Yogya akan lebih menikmati lagu Yogyakarta-nya KLA Project dibandingkan orang yang sama sekali tidak pernah ke Yogya. Karena selain menikmati lagunya, ia pasti akan menikmati liriknya yang sungguh menyentuh dengan apa yang dilihat dan dirasakannya tentang Yogya. Atau orang yang sedang berjauhan lama dengan kekasih, pasti akan lebih dalam ketika menikmati lagu Kangen-nya Dewa 19. Bait-bait liriknya sungguh mewakili perasaan hatinya, “Semua kata rindumu semakin membuatku, tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa, percayalah padaku akupun rindu kamu, ku akan pulang ... melepas semua, kerinduan, yang terpendam…”

Dengan demikian musik bagus dengan lirik yang sesuai akan menjadikannya produk seni yang lebih bernilai. Kita mengenal KLA Project dan Katon Bagaskara sebagai seniman yang sangat piawai menulis kata-kata. “Sisi ruang batinku, hampa rindukan pagi, tercipta nelangsa, merenggut sukma, terwujud keinginan, yang tak pernah terwujud, aku tak bisa pindah, pindah ke lain hati”.

Tapi tidak selamanya lirik itu harus puitis seperti karya Katon, lirik juga menjadi bagian untuk memikat pendengar pada pendengaran pertama. Lirik yang unik seringkali jadi daya tarik utama. Sebagai contoh, lagunya Samson yang berjudul Naluri Lelaki. Judulnya pun sudah menarik, dan ternyata lirik-liriknya juga unik dan membuat geli. “Aku adalah lelaki, yang tak pernah lelah, mencari wanita. Aku adalah lelaki, yang selalu gundah, menunggu wanitaku. Oh aku adalah lelaki,yang pantang menyerah, memikat wanita, aku adalah lelaki, yang selalu ingin, dibuai wanitaku”.

Ketika lirik telah menjadi lebih penting, maka universalitas musik akan sedikit terkendala. Lagu-lagu non-lokal dan non bahasa Inggris akan lebih sulit untuk menembus pasar-pasar musik di negara dunia. Bahasa Inggris lebih mudah melakukan penetrasi pasar karena bahasa Inggris telah menjadi bahasa yang digunakan secara luas oleh bangsa-bangsa di dunia.

Mungkin hal tersebut di atas lah yang membuat pagelaran musik Asia Song Festival di Seoul tidak sesukses yang diharapkan. Publik Korea ternyata tidak bisa mengapresiasi penampilan band tamu dari negara-negara tetangga. Penonton dalam ajang musik Asia tersebut praktis membisu ketiga band-band dari luar negeri termasuk Peterpan unjuk kebolehan. Ternyata permasalahannya adalah bahwa universalitas musik terkendala bahasa. Yang menjadi pertanyaan; apakah penikmat musik sekarang memang tidak bisa menikmati “gadis cantik tanpa gincu”?

Bagaimana anda menikmati musik?

Comments

Popular posts from this blog

Gajah Oling: Lebih Percaya pada Pengaman Swasta

Asal-usul Ngeles (Mengelak) & Legenda Ngeles Amrik

Designer atau Developer