Reformasi Polisi: Kontra Teroris atau Pelayan Masyarakat


Kamis malam, 25 Oktober 2007, TV Aljazeera dalam acara 101 East dipandu oleh (Teymoor Nabili) menayangkan diskusi yang membahas kesuksesan polisi khususnya Brimob dan Gegana dalam mengejar pelaku terorisme. Kesuksesan tersebut ternyata tidak hanya memberikan pujian tapi juga meninggalkan isu pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Yang menarik adalah, pernyataan dari salah satu nara sumber (seorang kulit putih yang luput disebutkan namanya oleh TV). Menurut si narasumber teroris utama di Indonesia bukanlah para bomber Bali, maupun para fanatik, tapi teroris sesungguhnya adalah polisi dan tentara Indonesia.

Alasan dia, polisi dan tentara Indonesia telah melakukan pembantaian-pembantaian di antaranya pembantaian simpatisan PKI tahun 1967an yang korbannya diperkirakan lebih dari satu juta orang, pembantaian dan pemerkosaan di Aceh, pembantaian di Papua, dan keterlibatan dalam konflik agama di Maluku. Selain itu, Polisi juga telah melakukan kejahatan-kejahatan seperti memeras pelapor kejahatan, menjadi backing orang-orang kaya dan pelaku kejahatan untuk melindungi mereka dari jeratan hukum, melakukan penyiksaan-penyiksaan terhadap warga sipil.

Dia juga mengutip pernyataan pendekar teroris George W. Bush bahwa, "If you aided terrorist, so you are a terrorist", kemudian menuding Australia dan Amerika sebagai teroris karena menggelontorkan dana yang sangat besar kepada Polisi Indonesia yang masih bersimbah darah dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Ironisnya, menurut Noor Huda Ismail, seorang pengamat militer dalam diskusi tersebut, Amerika dan Australia hanya peduli dengan tujuannya, yaitu menjadikan polisi kapabel menangkap teroris versi Australia dan Amerika dan tidak peduli dengan bagaimana pelanggaran polisi terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Noor menyebut hal ini sebagai suatu double standard Australia dan Amerika terhadap polisi dan rakyat Indonesia. Menurut Noor, keberhasilan polisi sekarang adalah hanya dalam hal peningkatan kemampuan untuk menangkap teroris pesanan negara donor. Tapi Noor juga berpendapat bahwa polisi telah merubah cara menangani teroris yaitu awalnya dengan pendekatan interogasi dan kekerasan menjadi pendekatan psikologis, yaitu dengan cara mendekati tersangka teroris secara manusiawi untuk dikorek keterangannya.

Saya berpendapat, bagaimanapun polisi mempunyai fungsi sebagai pelindung dan pelayan masyarakat yang artinya jauh lebih luas daripada pengejaran pelaku teroris. Saat ini konsentrasi polisi masih kepada isu pemberantasan terorisme. Hal ini dibuktikan dengan pesatnya perkembangan infrastruktur dan kemampuan teknis polisi khususnya yang berfungsi untuk melawan terorisme (seperti unit Densus 88 dan Gegana). Perkembangan posisif tersebut terwujud berkat gelontoran dana yang sangat besar dari negara donor seperti Australia dan Amerika.

Tapi disisi lain, belum ada perbaikan signifikan terhadap pengembangan kemampuan polisi dalam meningkatkan kualitas perlindungan dan pelayanan masyarakat selain urusan terorisme. Saya sadar memang terdapat komitmen kuat dan kerja keras dari sebagian pejabat dan aparat polisi untuk melakukan reformasi total. Namun, Polisi seakan berburu dengan waktu. Polisi adalah bagian melekat dari kehidupan masyarakat, dimana interaksi antara aparat polisi dengan masyarakat sangat intens dan di berbagai bidang. Reformasi yang tidak nyata dan lambat dampaknya pada kualitas aparat polisi sangat terasa oleh masyarakat, dan masyarakat pada akhirnya akan bersikap skeptis dan tetap curiga terhadap motif polisi.

Lambatnya perbaikan kinerja polisi dan kesadaran polisi untuk melindungi dan melayani masyarakat dapat dilihat dari masih seringnya kita jumpai polisi-polisi yang diduga melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Tidak memberikan pelayanan terhadap pelapor kejahatan, namun ironisnya membebani pelapor dengan berbagai macam biaya dan upah sebagai syarat tindakan yang akan dilakukan kepada terlapor. Lebih parah lagi, ternyata bukan saja pelapor yang diperas, terlapor pun harus memberikan sogokan jumlah tertentu untuk memperingan penindakan.
  2. Pilih-pilih terhadap penanganan kasus. Apabila kasus tidak mendapatkan perhatian publik maka tidak menjadi prioritas. Apabila kasus dialami oleh orang miskin yang tidak memungkinkan memberikan upah kepada polisi maka kasus tidak diproses secara layak.
  3. Masih berpihak kepada pihak yang mempunyai sumber daya seperti uang dan kekuasaan, dan tidak berpihak kepada kemanusiaan dan keadilan.
  4. Korupsi, yaitu terhadap kegiatan-kegiatan tilang di jalan raya, pengurusan dokumen STNK, dan SIM.
  5. Backing terhadap pihak-pihak tertentu, ini dibuktikan oleh masih maraknya pembajakan, premanisme, jual beli obat terlarang, pelacuran, dan pungutan liar.
  6. Tidak profesional dalam melaksanakan tugas, seperti salah tembak, penganiayaan tersangka, dan tindakan emosional.

Karena tugas sesungguhnya polisi adalah pelayanan dan perlindungan bagi masyarakat maka sudah seharusnya dana bantuan donor disalurkan lebih besar kepada pos-pos yang langsung dapat bermanfaat untuk masyarakat luas bukan untuk pesanan pihak donor. Pimpinan kepolisian harus mampu bersikap tegas kepada negara donor, dengan tidak mengorbankan fungsi polisi hanya untuk kepentingan donor dan mengabaikan kepentingan rakyat Indonesia. Dengan demikian, reformasi di tubuh polisi dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat luas.

Bagaimana pendapat anda?

Gambar diatas dari Aljazeera

Comments

Popular posts from this blog

Gajah Oling: Lebih Percaya pada Pengaman Swasta

Asal-usul Ngeles (Mengelak) & Legenda Ngeles Amrik

Designer atau Developer