Membunuh Busway


Setiap pagi dan sore, dan terkadang sepanjang hari, sebagian pengguna jalan raya tengah membunuh busway.

Proyek Busway diterapkan sebagai salah suatu solusi minimal dalam mengendalikan kemacetan dan problem transportasi di Jakarta. Saya katakan minimal karena sejatinya, solusi terbaik untuk kemacetan dan problem transportasi di kota metropolitan seperti Jakarta adalah Subway, yaitu jenis MRT (mass rapid transportation) yang beroperasi di bawah permukaan tanah. Selain mempunyai kapasitas yang lebih besar, operasionalisasi subway juga tidakmengganggu kegiatan di permukaan tanah. Namun subway masih terlalu mahal bagi Jakarta, dan selain itu pembangunan subway masih menghadapi kendala teknis.

Pada akhirnya Busway untuk Jakarta harus diakui sebagai suatu terobosan besar. Walaupun busway dihujani kritikan oleh sebagian pengguna jalan raya, khususnya pengguna kendaraan pribadi, namun hujatan tersebut tidak ada artinya dibandingkan dengan teriakan kegembiraan dari jutaan pengguna angkutan umum yang setiap hari lalu lalang di Jakarta.

Konsekuensi adanya proyek busway adalah dengan menyediakan jalur busway secara eksklusif di jalur jalan umum yang sekarang sudah ada. Dengan adanya hal tersebut maka terjadi pengurangan kapasitas jalur umum yang dilalui oleh busway. Pada jangka pendek, memang konsekuensinya adalah kemacetan di jalur umum, namun dalam jangka panjang, dengan harapan bahwa pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke busway, maka kemacetan tidak akan terjadi lagi.

Dengan adanya eksklusifitas jalur busway, maka busway sejatinya bisa melaju tanpa hambatan. Hambatannya hanyalah adanya lampu merah atau penyempitan-penyempitan jalan yang tidak memungkinkan dibuatnya jalur busway.
Adanya proyek busway bukan semata-mata untuk menyediakan transportasi yang lebih baik bagi pengguna tranportasi umum, namun juga untuk dapat mengalihkan para pengguna kendaraan pribadi, baik itu roda empat maupun roda dua, ke moda transportasi umum, yaitu busway. Dengan beralihnya para pengguna kendaraan pribadi tersebut, maka kemacetan dan tingkat polusi di Jakarta dapat ditekan secara signifikan.

Tidak sulit untuk meyakinkan para pengguna transportasi umum untuk beralih ke busway, karena bagaimanapun busway lebih nyaman, lebih aman, dan lebih cepat walaupun lebih mahal. Namun meyakinkan pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke busway menjadi sesuatu yang tidak mudah. Paling tidak, pengguna kendaraan pribadi harus diyakinkan bahwa busway memang bisa menggantikan kendaraan pribadi dalam hal kemudahan akses, efisiensi biaya, dan tentunya kenyamanan, keamanan dan kecepatan. Pengguna kendaraan pribadi tidak serta merta akan beralih ke busway, mereka akan wait and see. Mereka akan melihat dan membuktikan apakah busway sesuai dengan yang dijanjikan, seperti lebih cepat (tidak macet), lebih nyaman, dan lebih aman?.

Inilah tantangan Pemerintah Daerah dan operator busway yang utama dalam menjamin tercapainya tujuan pengalihan pengguna kendaraan pribadi kepada busway. Pemda, sebagai pembuat kebijakan, dan operator busway harus yakin bahwa busway dapat beroperasi sesuai dengan yang seharusnya, yaitu cepat, nyaman, aman.

Pada kenyataannya, saat ini busway jauh dari yang diharapkan terutama dari perspektif pengguna kendaraan pribadi. Saat ini, busway masih seperti kendaraan di jalur umum, busway masih sering terjebak kemacetan, terutama pada jam-jam sibuk. Seharusnya dengan adanya jalur eksklusif busway, busway tidak mengalami kemacetan. Sudah banyak dana dikucurkan dan pohon ditumbangkan untuk membuat jalur busway yang eksklusif. Kepentingan publik pun sudah dikorbankan untuk pembuatan jalur eksklusif tersebut, dan publik sudah mau memahaminya. Dan terakhir, pengguna busway sudah bersedia membayar lebih mahal untuk layanan kecepatan yang dijanjikan busway. Namun apabila busway di jalur eksklusifnya masih terjebak kemacetan maka hal ini bisa disebut sebagai ironi terbesar busway.

Ironi tersebut terjadi akibat perbuatan disengaja sebagian pengguna jalan raya, baik kendaraan roda empat, roda dua, bahkan roda tiga. Kendaraan pribadi dan kendaraan umum non busway banyak terlihat menyerobot jalur busway terutama ketika kondisi jalur umum tersendat. Penyerobotan jalur busway, walaupun suatu pelanggaran lalu lintas, tidak terlalu masalah apabila tidak mengganggu jalannya busway. Namun menjadi sangat bermasalah apabila gara-gara penyerobotan tersebut, busway menjadi ikut terhambat dan macet di jalurnya. Dan selanjutnya bisa ditebak, kemacetan jalur busway hanya mencoreng citra busway.

Tidak adanya tindakan tegas, bahkan malahan aparat DLLAJR mengalirkan kendaraan pribadi ke jalur busway ketika jalur umum macet, memberikan pukulan telak bagi citra yang sedang dibangun oleh busway. Sekarang pengguna kendaraan pribadi masih bisa mencibir kepada busway sambil tetap menuduh busway sebagai biang kerok kemacetan Jakarta.

Pantas saja ketika akan dibangun koridor baru Lebak Bulus – Harmoni yang melewati Pondok Indah, segenap warga Pondok Indah menolak dengan berbagai alasan. Warga Pondok Indah adalah representasi pengguna kendaraan pribadi yang tidak bisa membuktikan bahwa busway adalah sarana transportasi yang bisa menggantikan kendaraan pribadi mereka.

Di mata pelanggan busway pun, kemacetan busway akan menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan. Ongkos yang lebih mahal yang dibayarkan pelanggan busway tidak dibalas dengan jasa yang janjikan. Pelanggan busway akan teringat kasus bus Patas di Jakarta. Bus Patas yang diterjemahkan sebagai Cepat Terbatas, ternyata sama saja dengan bus non patas. Walaupun ongkosnya lebih mahal dari bus reguler, bus tersebut tidak cepat dan penumpangnya ditumpuk seperti ikan teri.

Apabila kemacetan busway tidak segera diselesaikan maka tujuan busway untuk memindahkan pengguna kendaraan pribadi tidak akan tercapai. Padahal jalur eksklusif sudah dibuat, dan jalur umum tidak bertambah. Sehingga kemacetan yang diperkirakan hanya terjadi pada tahap-tahap awal busway akan berkelanjutan. Disisi pengguna kendaraan pribadi, kekecewaan karena berkurangnya jalur umum karena busway, dan kemacetan yang semakin bertambah, oleh sebagian pengendara dilampiaskan dengan tidak mau berpindah dan mengorbankan disiplin kendaraan dengan menyerobot jalur busway.

Seharusnya, kita pengguna jalur umum yang belum mau beralih ke busway tidak menambah pelik permasalahan busway dan transportasi umum di Jakarta. Jumlah pengguna kendaraan pribadi dibandingkan dengan jumlah pengguna transportasi umum masih sangat kecil jumlahnya. Kalau kita berpikir demokratis, seharusnya kita mengutamakan kepentingan mayoritas. Mereka pengguna transportasi umum sangat mendambakan moda transportasi yang nyaman dan aman. Mereka sudah lama tersiksa dengan kejamnya transportasi umum di Jakarta. Kita yang bisa menikmati kendaraan dengan lebih nyaman harus mau berlapang dada terhadap mereka. Apabila kita tetap meneruskan aksi kita dalam menyerobot jalur busway, maka sebenarnya kita sedang membunuh busway dan membunuh harapan para pengguna transportasi umum untuk mendapatkan kemerdekaan bertransportasi.

Bagaimana pendapat anda?

5 Oktober 2007

Comments

Anonymous said…
lebih baik mulai membangun walopun sekedar busway yang minimal itu daripada pimpinan daerah lain yang mlempen hanya karena belum ada kemacetan seperti jakarta. Kenapa mesti nunggu macet dulu baru mbangun sarana transportasi ??
Jawa barat ?? Jawa tengah ?? Jawa timur ?? mlempem semua...... adem ayem, makan gaji buta.
Dikky Zulfikar said…
Saya setuju dengan anda pak. Yang penting membuat terobosan jangka panjang dulu. Saya baca di Warta Ekonomi, Bambang DH, Walikota Surabaya akan membangun koridor busway sepanjang 32 km, dari Bungurasih ke Tanjung Perak. Nah, bagus kan. Gubernur lain jadi berani kaya Sutiyoso.

Popular posts from this blog

Gajah Oling: Lebih Percaya pada Pengaman Swasta

Asal-usul Ngeles (Mengelak) & Legenda Ngeles Amrik

Designer atau Developer