Low Cal, Low Fat, Low Guilt
Judul di atas adalah salah satu tag iklan salah satu produk Coffee Bean, sebuah kedai kopi internasional. Terus terang saya suka sekali kalimat di atas. Mengingatkan bahwa seringkali saya merasa bersalah apabila nekat makan sesuatu. Entah itu makanan dengan lemak tinggi seperti sate dan tongseng kesukaan, atau minuman nikmat semacam es teller.
Di satu sisi, sungguh lezat makanan di depan mata, tapi di sisi lain selalu ingat janji setia mengurangi konsumsi kalori dan lemak demi menurunkan berat badan yang sudah berlebihan.
Seringkali yang nikmat-nikmat menyembunyikan ancaman tersendiri. Terutama bicara soal makanan. Tata Ribs misalnya, salah satu makanan favorit saya yang ditawarkan warung Daeng Tata, selalu memberi dilema ketika melangkah ke dalamnya. Ada perasaan bersalah kalau harus bernikmat menyantap iga bakar khas Makassar. Tapi, seringkali yang saya alami adalah taubat sambal. Walaupun ampun-ampun merasa bersalah, tapi tetap saja mengulanginya.
Sekarang ini mulai banyak produsen makanan yang pintar membidik celah pasar. Semakin banyak orang peduli kesehatan, semakin terbuka pasar makanan yang pro kesehatan. Mendapatkan kenikmatan tentunya tidak selalu harus mengorbankan kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat bukan hanya sekali dua kali, hal tersebut harus menjadi budaya sehari-hari. Paling tidak saya berusaha, di antaranya adalah tidak menggunakan msg untuk makanan di rumah, tidak terbiasa minum teh atau kopi manis secara rutin, membatasi makan malam hanya untuk buah-buahan, membatasi makan gorengan. Memang belum banyak, tapi saya sudah memulai.
Masih jarang restoran dan tempat makan yang pro kesehatan. Hanya beberapa kali saja saya melihat restoran yang mengkampanyekan kesehatan seperti misalnya restoran vegetarian yang menuliskan besar-besar di depan tokonya "tanpa daging, tanpa msg, tanpa pengawet", atau sebuah hotel yang menyatakan mereka memasak tanpa msg untuk kesehatan tamunya.
Pada akhirnya kita lah yang harus pintar-pintar memilihnya. Nikmat tapi tetap sehat.
Dimana lagi bisa ditemukan makanan yang sehat?
Di satu sisi, sungguh lezat makanan di depan mata, tapi di sisi lain selalu ingat janji setia mengurangi konsumsi kalori dan lemak demi menurunkan berat badan yang sudah berlebihan.
Seringkali yang nikmat-nikmat menyembunyikan ancaman tersendiri. Terutama bicara soal makanan. Tata Ribs misalnya, salah satu makanan favorit saya yang ditawarkan warung Daeng Tata, selalu memberi dilema ketika melangkah ke dalamnya. Ada perasaan bersalah kalau harus bernikmat menyantap iga bakar khas Makassar. Tapi, seringkali yang saya alami adalah taubat sambal. Walaupun ampun-ampun merasa bersalah, tapi tetap saja mengulanginya.
Sekarang ini mulai banyak produsen makanan yang pintar membidik celah pasar. Semakin banyak orang peduli kesehatan, semakin terbuka pasar makanan yang pro kesehatan. Mendapatkan kenikmatan tentunya tidak selalu harus mengorbankan kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat bukan hanya sekali dua kali, hal tersebut harus menjadi budaya sehari-hari. Paling tidak saya berusaha, di antaranya adalah tidak menggunakan msg untuk makanan di rumah, tidak terbiasa minum teh atau kopi manis secara rutin, membatasi makan malam hanya untuk buah-buahan, membatasi makan gorengan. Memang belum banyak, tapi saya sudah memulai.
Masih jarang restoran dan tempat makan yang pro kesehatan. Hanya beberapa kali saja saya melihat restoran yang mengkampanyekan kesehatan seperti misalnya restoran vegetarian yang menuliskan besar-besar di depan tokonya "tanpa daging, tanpa msg, tanpa pengawet", atau sebuah hotel yang menyatakan mereka memasak tanpa msg untuk kesehatan tamunya.
Pada akhirnya kita lah yang harus pintar-pintar memilihnya. Nikmat tapi tetap sehat.
Dimana lagi bisa ditemukan makanan yang sehat?
Comments
Semoga gagasan MUI untuk mewajibkan label halal bagi produsen makanan dan minuman cepat terwujud.
Prinsipnya : halalan thoyiban