Menjadi Manusia Formalin Seutuhnya
Suatu pagi ketika sarapan pagi, saya merasakan rasa yang tidak biasa pada cumi goreng tepung yang dihidangkan di rumah. Rasa tersebut seperti zat yang tidak pernah saya rasakan pada binatang laut, maupun tepung, atau minyak goreng. Saya menyimpulkan cepat, cumi ini pasti dicampur zat kimia sebelum dimasak. Siang harinya saya sengaja ke supermarket dan membeli cumi. Ketika hari berikutnya dimasak, saya tidak merasakan rasa yang sama yang saya rasakan kemarin hari.
Demikian juga beberapa hari kemudian ketika giliran dihidangkan udang goreng tepung yang dibeli di waktu dan tempat yang sama dengan cumi pertama di atas. Lagi-lagi rasa yang saya duga adalah zat kimia sangat terasa. Segera saya minta untuk menyingkirkan makanan tersebut dan menghentikan belanja cumi dan udang di pasar.
Terus terang saya sangat prihatin. Saya kembali teringat akan temuan Balai Pengawasan Obat dan Makanan beberapa bulan lalu yang menyatakan bahwa sebagian hasil laut yang ditangkap nelayan telah diberi cairan kimia formalin. Tujuan pemberian zat kimia tersebut adalah agar ikan dan hasil laut lainnya terlihat lebih segar dan tidak cepat membusuk. Saat itu, penemuan BPOM tersebut menggemparkan masyarakat dan sangat sering dibahas media. Tapi sejauh yang saya tahu, belum banyak pihak-pihak yang dikenai hukuman atas peristiwa tersebut. Dan ironisnya lagi, hal di atas hanya menjadi sensasi berita sesaat saja. Ketika berita sedang panas, pelaku pencampur formalin tiarap, setelah adem kembali, mereka leluasa saja mengulangi apa yang biasa mereka lakukan.
Beberapa minggu lalu, di televisi diberitakan , Polisi berhasil menggrebek penjual ayam potong yang menyuntikkan formalin ke seluruh dagangannya. Produksi pengusaha ayam potong tersebut sampai dengan 1000 ekor perhari dan disebarkan ke Jakarta dan Bekasi. Penyuntikan ayam potong dengan formalin disengaja untuk memberikan kesan baik terhadap dagangan mereka.
Saya yakin, masih sangat banyak pelaku pencampur formalin yang masih bebas mempraktikkan kejahatan mereka tanpa rasa takut. Produksi dan distribusi bahan makanan adalah kegiatan yang sangat besar dan dilakukan oleh banyak sekali pihak. Tidak mustahil praktik pencampuran formalin yang telah ditemukan oleh BPOM maupun Polisi adalah praktik yang telah lazim dan banyak dipraktekkan.
Bagaimana tidak demikian, formalin sangat mudah didapatkan di pasaran. Dan khasiat formalin sungguh efektif bagi para penjahat tersebut untuk mengeruk keuntungan tambahan. Selain formalin, bahan-bahan kimia yang tidak layak untuk makanan banyak pula diperjualbelikan di pasar makanan. Sebagai contoh adalah pewarna makanan. Adalah lazim memperjualbelikan dan menggunakan pewarna tekstil untuk makanan.
Yang menambah prihatin adalah bahwa jenis kejahatan seperti disebutkan diatas bukan suatu kejahatan yang menarik bagi penegak hukum untuk menanganinya. Kebanyakan pelaku dari kejahatan tersebut adalah orang kecil, seperti nelayan, pedagang warungan, dan pengusaha ayam potong.
Saya terus terang trauma dengan cara kerja Polisi dan Jaksa. Polisi dan Jaksa yang saya tahu sering kali bekerja berdasarkan pertimbangan keuntungan material mereka semata. Apabila suatu kasus dapat menghasilkan uang bagi mereka, maka mereka akan bekerja keras. Namun apabila kasus tersebut hanyalah kasus kering, jangan harap mendapatkan perhatian yang seharusnya.
Dengan kondisi seperti ini lah maka kita sendiri yang harus sangat selektif dan berhati-hati dalam memilih makanan. Sebagai contoh apabila berbelanja daging ayam, saya memastikan ayam tersebut berasal dari ayam hidup, yaitu pedagang ayam yang memang menyembelih ayamnya di tempat. Untuk ikan saya memilih ikan yang masih hidup seperti ikan mas, gurame, nila dan lele. Untuk ikan laut, saya ke pusat perbelanjaan yang memberikan garansi bahwa ikan mereka bebas formalin.
Saya mendambakan pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang lebih terkait, untuk menggiatkan pengawasan terhadap perdagangan makanan. Sebagai contoh di Amerika ada yang namanya polisi higienitas, yang kerjanya masuk ke restoran dan mengaudit dapurnya untuk menilai higienitas restoran tersebut. Apabila tidak higienis, maka langsung mendapatkan surat tilang dan ditutup restorannya (ingat film Friend?, salah satu pacar Phoebe adalah polisi higienitas).
Sekarang yang saya tahu, pengawasan terhadap makanan masih menjadi proyek bagi dinas yang terkait. Walaupun definisinya adalah tugas pokok fungsi utama mereka, tapi mereka baru bekerja berdasarkan proyek. Mereka baru melakukan pengawasan apabila ada anggaran kerjanya, apabila tidak, mereka lebih suka nongkrong di kantor menunggui pekerjaan administratif.
Kembali lagi ke masalah formalin, apabila penggunaan formalin tetap dibiarkan, maka bukannya kita tambah sehat dengan makanan sehat, maka mungkin kita tambah awet karena bantuan formalin. Kita akan menjadi manusia formalin. Na’udzubillah.
Demikian juga beberapa hari kemudian ketika giliran dihidangkan udang goreng tepung yang dibeli di waktu dan tempat yang sama dengan cumi pertama di atas. Lagi-lagi rasa yang saya duga adalah zat kimia sangat terasa. Segera saya minta untuk menyingkirkan makanan tersebut dan menghentikan belanja cumi dan udang di pasar.
Terus terang saya sangat prihatin. Saya kembali teringat akan temuan Balai Pengawasan Obat dan Makanan beberapa bulan lalu yang menyatakan bahwa sebagian hasil laut yang ditangkap nelayan telah diberi cairan kimia formalin. Tujuan pemberian zat kimia tersebut adalah agar ikan dan hasil laut lainnya terlihat lebih segar dan tidak cepat membusuk. Saat itu, penemuan BPOM tersebut menggemparkan masyarakat dan sangat sering dibahas media. Tapi sejauh yang saya tahu, belum banyak pihak-pihak yang dikenai hukuman atas peristiwa tersebut. Dan ironisnya lagi, hal di atas hanya menjadi sensasi berita sesaat saja. Ketika berita sedang panas, pelaku pencampur formalin tiarap, setelah adem kembali, mereka leluasa saja mengulangi apa yang biasa mereka lakukan.
Beberapa minggu lalu, di televisi diberitakan , Polisi berhasil menggrebek penjual ayam potong yang menyuntikkan formalin ke seluruh dagangannya. Produksi pengusaha ayam potong tersebut sampai dengan 1000 ekor perhari dan disebarkan ke Jakarta dan Bekasi. Penyuntikan ayam potong dengan formalin disengaja untuk memberikan kesan baik terhadap dagangan mereka.
Saya yakin, masih sangat banyak pelaku pencampur formalin yang masih bebas mempraktikkan kejahatan mereka tanpa rasa takut. Produksi dan distribusi bahan makanan adalah kegiatan yang sangat besar dan dilakukan oleh banyak sekali pihak. Tidak mustahil praktik pencampuran formalin yang telah ditemukan oleh BPOM maupun Polisi adalah praktik yang telah lazim dan banyak dipraktekkan.
Bagaimana tidak demikian, formalin sangat mudah didapatkan di pasaran. Dan khasiat formalin sungguh efektif bagi para penjahat tersebut untuk mengeruk keuntungan tambahan. Selain formalin, bahan-bahan kimia yang tidak layak untuk makanan banyak pula diperjualbelikan di pasar makanan. Sebagai contoh adalah pewarna makanan. Adalah lazim memperjualbelikan dan menggunakan pewarna tekstil untuk makanan.
Yang menambah prihatin adalah bahwa jenis kejahatan seperti disebutkan diatas bukan suatu kejahatan yang menarik bagi penegak hukum untuk menanganinya. Kebanyakan pelaku dari kejahatan tersebut adalah orang kecil, seperti nelayan, pedagang warungan, dan pengusaha ayam potong.
Saya terus terang trauma dengan cara kerja Polisi dan Jaksa. Polisi dan Jaksa yang saya tahu sering kali bekerja berdasarkan pertimbangan keuntungan material mereka semata. Apabila suatu kasus dapat menghasilkan uang bagi mereka, maka mereka akan bekerja keras. Namun apabila kasus tersebut hanyalah kasus kering, jangan harap mendapatkan perhatian yang seharusnya.
Dengan kondisi seperti ini lah maka kita sendiri yang harus sangat selektif dan berhati-hati dalam memilih makanan. Sebagai contoh apabila berbelanja daging ayam, saya memastikan ayam tersebut berasal dari ayam hidup, yaitu pedagang ayam yang memang menyembelih ayamnya di tempat. Untuk ikan saya memilih ikan yang masih hidup seperti ikan mas, gurame, nila dan lele. Untuk ikan laut, saya ke pusat perbelanjaan yang memberikan garansi bahwa ikan mereka bebas formalin.
Saya mendambakan pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang lebih terkait, untuk menggiatkan pengawasan terhadap perdagangan makanan. Sebagai contoh di Amerika ada yang namanya polisi higienitas, yang kerjanya masuk ke restoran dan mengaudit dapurnya untuk menilai higienitas restoran tersebut. Apabila tidak higienis, maka langsung mendapatkan surat tilang dan ditutup restorannya (ingat film Friend?, salah satu pacar Phoebe adalah polisi higienitas).
Sekarang yang saya tahu, pengawasan terhadap makanan masih menjadi proyek bagi dinas yang terkait. Walaupun definisinya adalah tugas pokok fungsi utama mereka, tapi mereka baru bekerja berdasarkan proyek. Mereka baru melakukan pengawasan apabila ada anggaran kerjanya, apabila tidak, mereka lebih suka nongkrong di kantor menunggui pekerjaan administratif.
Kembali lagi ke masalah formalin, apabila penggunaan formalin tetap dibiarkan, maka bukannya kita tambah sehat dengan makanan sehat, maka mungkin kita tambah awet karena bantuan formalin. Kita akan menjadi manusia formalin. Na’udzubillah.
Comments