168 Jam dalam Sandera: Penyanderaan Membawa Nikmat

Buku 168 Jam dalam Sandera adalah sebuah buku yang mengharukan sekaligus memancing rasa ingin tahu akan sebuah peristiwa bersejarah yang dialami dua orang yang sangat berdedikasi dalam profesinya, yaitu Meutya Hafid dan Budiyanto.

Meutya membuka Bab Pertama langsung kepada peristiwa utama yang mengawali drama penyanderaan. Meutya mencoba menghadirkan suatu ketegangan dalam kepasrahan di bawah todongan senjata dan tidak tahu apa sebenarnya yang sedang dan akan terjadi selanjutnya. Namun demikian, penggambaran Meutya terhadap suasana awal penyanderaan tersebut terasa kurang dramatis, dan terlalu cepat berlalu. Demikian juga usaha Meutya untuk kembali menghadirkan gambaran ketegangan ketika Budiyanto dan Ibrahim (sopir rombongan Meutya) digelandang ke luar gua dan terdengar suara tembakan yang dikira adalah suatu eksekusi.

Meutya justru berhasil menggambarkan ketegangan setelah terjadi pembebasan. Yaitu ketika rombongan Meutya dan mantan penyandera harus dievakuasi dari gua, karena adanya operasi pasukan koalisi yang semakin intensif dan diperkirakan sudah dekat sekali dengan gua tempat penyanderaan. Demikian juga ketegangan ketika Meutya, Budiyanto, dan Ibrahim dilepas oleh penyandera dan menuju perbatasan Irak - Yordania tanpa pengawalan siapapun, kecuali pengawalan tersembunyi dari mantan penyandera seperti yang dijanjikan oleh Rois (pimpinan penyandera).

Yang paling menarik dari buku ini adalah kemampuan Meutya dalam memancing tetesan air mata dan keharuan pembaca yaitu ketika menggambarkan tumbuhnya persahabatan dan saling menghormati diantara penyandera dan tersandera, dan perhatian yang sangat besar yang diberikan oleh bangsa Indonesia terhadap peristiwa ini. Adik dari seorang penyandera (Ahmad), seorang kurir logistik, dengan sangat berani menembus bahaya menuju ke gua tempat penyanderaan hanya untuk mengabarkan bahwa ia melihat tayangan televisi tentang kemunculan SBY, keluarga Meutya dan Budiyanto yang meminta pembebasan sandera. Pada momen itulah Meutya menangis, tangisan yang baru muncul selama ia di sandera di gurun terpencil. Bahkan penyandera termasuk adik Ahmad pun bingung, kenapa kabar gembira yang dibawa dengan sukacita oleh adik Ahmad malahan disambut tangisan oleh Meutya, sesuatu yang mungkin adik Ahmad tidak memahaminya.

Air mata semakin deras manakala Meutya mengetahui begitu besar cinta dan perhatian orang-orang di tanah air. Mereka adalah keluarga, pemerintah, pihak Metro TV dan masyarakat Indonesia yang selalu berdoa dan mengikuti perkembangan drama penyanderaan ini. Pada bagian akhir saat-saat kembali ke tanah air, pembaca pun dibuat larut dalam keharuan. Sambutan demi sambutan diiringi rasa syukur dan isak tangis, disertai rangkulan erat dan ucapan selamat, dari Presiden SBY sampai kru seperjuangan di Metro TV. Memang, yang sering kali tidak kita ketahui adalah begitu besar cinta orang-orang disekitar kita, yang sering kali menentukan takdir kita.

Yang juga menarik adalah posisi jurnalis di medan perang. Menurut para pejuang Irak, jurnalis yang meliput di sisi tentara koalisi adalah target utama mereka. Karena bagi mereka, tidak ada lagi independesi jurnalis. Jurnalis tidak memberitakan fakta yang sebenarnya namun selalu tidak netral dan memojokkan pejuang Irak. Bahkan banyak terdapat jurnalis yang menggunakan seragam militer dan dipersenjatai. Hal tersebut yang menjadikan jurnalis sebagai sasaran empuk. Demikian pula yang terjadi di sisi pasukan koalisi, jurnalis yang ikut dalam peliputan di sisi pejuang, menjadi sasaran utama peluru pasukan koalisi. Jangankan jurnalis lokal, jurnalis internasional dari Aljazeera pun menjadi sasaran tembak. Bahkan sekian kali kantor liputan Aljazeera dihancurkan peluru kendali pasukan koalisi. Inilah yang harus dijadikan oleh-oleh Meutiya kepada dunia profesinya baik secara lokal maupun internasional, yaitu bagaimana melindungi jurnalis dari target pertempuran.


Sebagai seorang jurnalis, buku tentang pengalaman yang sangat bernilai ini seharusnya terbit lebih awal. Peristiwa penyanderaan terjadi 15 Februari 2005, selama 168 jam, namun buku ini baru dirilis September 2007. Waktu yang terlalu panjang, apalagi kalau hanya dengan alasan kesibukan pekerjaan. Buku ini juga bisa lebih lengkap kalau memberikan tempat yang lebih banyak untuk Budiyanto dan mungkin Ibrahim. Pastilah mereka mempunyai perspektif dan pandangan yang lain tentang peristiwa yang mereka alami bersama. Terkesan buku ini meninggalkan Budiyanto sebagai teman sandera Meutya. Saya yakin sebagai kameramen senior Budiyanto pun mampu menuliskan kesan-kesannya dengan baik.


Dengan posisi Meutya sebagai jurnalis Metro TV, pastilah tidak kurang cara untuk melacak Ibrahim. Apakah Ibrahim bebas, ataukah setelah interogasi dengan aparat Yordania dia dapat masalah?. Apakah titipan uang kekurangan pembayaran sewa mobil Meutya sudah sampai kepada Ibrahim?, itu juga menarik untuk diketahui. Demikian juga dengan semakin majunya teknologi digital, akan jauh lebih baik dan terasa apabila Meutya yang didukung Metro TV menyertakan VCD tentang liputan selama di Irak, liputan Metro tentang penyanderaan, suasana di kantor ketika penyambutan dan liputan lain yang terkait yang pasti akan sangat menarik bagi pembaca. Hal tersebut pastilah sangat memungkinkan karena bermanfaat juga untuk Metro TV.

Satu lagi yang masih membuat penasaran adalah, bagaimana para penyandera dan sandera melakukan shalat wajib. Meutya tidak menceritakan aktivitas ibadahnya karena bisa saja dia sedang berhalangan, tapi bagaimana dengan Budiyanto, Ibrahim, Ahmad dan Muhammad. Masalah shalat tidak ada ceritanya sama sekali.

Bagaimanapun, Meutya dan Budiyanto harus bersyukur karena disandera oleh orang-orang yang bermoral dan bertanggungjawab. Setelah interogasi Rois terhadap sandera, dan jelas keberadaan sandera sebagai bagian rakyat Indonesia yang mendukung perjuangan rakyat Irak, praktis Meutya dan Budiyanto mendapatkan pelayanan terbaik sebagai sandera. Walaupun tetap saja fasilitas yang diberikan hanyalah gua dan gurun pasir, namun para penyandera sangat jelas mencoba membuat sandera lebih baik dengan kesopanan mereka, persahabatan mereka, makanan dan logistik. Bayangkan kalau Meutya dan Budiyanto jatuh ke tangan penyandera yang bermotifkan uang tebusan. Kondisi sandera pastilah lebih buruk dan keselamatan mereka sangat diragukan.

Setelah bertemu dengan Rois pula, penyadera pun tersirat sudah mengetahui, bagaimana ending dari peristiwa tersebut. Gurauan penyandera yang bernama Muhammad contohnya, "Jangan tegang, jangan khawatir, hanya pengambilan gambar. Nanti kamu akan terkenal ke seluruh dunia. Kalau sudah terkenal, jangan lupa kami ya," merupakan pertanda bahwa saat pembebasan hanya menunggu waktu.

Yang jelas, godaan Rois kepada Meutya, "Ibrahim, apakah Meutiya senang akhirnya bebas?", "Katakan padanya, ketika pulang nanti dia akan menikmati akibat penculikan ini", ternyata terbukti. Meutya mendadak menjadi terkenal ke seluruh penjuru dunia. Ia adalah seorang wartawan perang di medan yang paling berbahaya di dunia yang mendapatkan pengalaman disandera dan dapat bebas dengan selamat. Tidak salah ketika Budiyanto, menjelang syuting pernyataan pembebasan mengatakan kepada Meutya,"Pokoknya kita harus keren, Mut. Kita kan masuk CNN". Ya, mereka menjadi sangat terkenal dan ini lah maksud godaan Rois. Mungkin peristiwa ini dapat dikatakan sebagai penyanderaan membawa nikmat.

Comments

Popular posts from this blog

Gajah Oling: Lebih Percaya pada Pengaman Swasta

Asal-usul Ngeles (Mengelak) & Legenda Ngeles Amrik

Designer atau Developer