Kenanganku Tentang Ibu: My Super Mom

Kalau ada yang dijuluki wanita besi, si Margareth Thatcher, kami mempunyai ibu yang benar-benar wanita besi. Beliau lah ibu super kami, Ibunda Rohmaniati. Ketika dinikahi Bapak, Ibu saya adalah gadis kurus dan kecil. Menatap foto pernikahan mereka, tidak menyangka bahwa yang berdiri mendampingi Bapak dengan gaun pengantin ala barat adalah Ibunda tercinta yang saya kenal sekarang.

Ibunda dikaruniai 10 orang anak, lima orang laki-laki dan lima orang perempuan. Dulu, sewaktu saya kecil dan sedang bermain di kios tempat Ibu berdagang, Ibu sering ditanya oleh pelanggan kami; Putrane pinten Bu?, (anaknya berapa Bu?), dan pasti jawaban Ibu disambut geleng-geleng kekaguman si penanya. Saya pernah mendengar alasan Ibu, kenapa anaknya banyak. Jawaban Ibu singkat, hanya takut KB.

Umur kami, kakak beradik, hanya terpaut 1 atau 2 tahun. Mas Davis anak pertama lahir tahun 1970. Saya anak kelima, lahir tahun 1975. Dahlia anak ke 10 lahir tahun 1985. Jadi, periode 5 tahun pertama dipenuhi dengan tangisan bayi dan balita, dan 10 tahun berikutnya mungkin lebih santai, mungkin juga tidak mengingat jumlah anak yang semakin banyak.

Posisi Ibu bukan hanya sebagai ibu dari 10 orang anak. Ibu adalah asisten utama Bapak dalam urusan bisnis dan rumah tangga. Dan menurut Ibu, Direktur Utama, Si Bapak, ternyata hobinya menyerahkan pekerjaan kepada Asisten, untuk dapat bermain dengan para burung dara, ayam jago, dan perkututnya.

Bisnis Bapak adalah toko perhiasan di sebuah kios pasar di Sampang, Cilacap. Toko Bapak tidak mengenal hari libur, senin sampai minggu toko buka. Bahkan lebaran pun kami tetap buka. Jam buka toko adalah jam delapan pagi sampai dengan jam empat sore. Hanya ada satu kesempatan istirahat, yaitu sholat dhuhur dan makan siang. Bapak dan Ibu selalu bergantian dalam beristirahat. Kalau Bapak istirahat, Ibu di kios, dan begitu sebaliknya. Bahkan kalau salah satu sedang tidak berada di Sampang, Bapak atau Ibu dikirimi makanan ke kios dan tidak pulang istirahat. Setiap hari, tahun demi tahun.

Ibu istirahat untuk makan sholat dan menyusui. Sambil mengecek seluruh anak-anaknya, apakah sudah makan, apakah baik-baik saja. Nah, menurut cerita Ibu, kalau Bapak istirahat, Bapak tidak lupa memberi makan burung dara dan peliharaannya yang lain. Ibu tertawa ketika menceritakannya.

Ibu adalah orang yang sangat praktis. Ibu merawat anak-anaknya yang kecil dengan suatu irama dan jadwal yang tertata. Kapan harus menyusui, kapan harus memberi makan, memandikan, menidurkan, dan seterusnya. Kami semua diberi ASI, dan hebatnya, sampai dengan bayinya Dahlia yang paling kecil, Ibu tetap memberinya ASI. I just wonder, bagaimana kami bersepuluh diawasi dan dirawat sedemikian rupa. Setahu saya, tidak ada satupun dari kami yang kurang gizi. Alhamdulillah semua tumbuh sehat.

Pada awal kedatangan di Sampang, Ibu masih menyertai Bapak dalam berdakwah. Ibu aktif memberikan ceramah-ceramah dan pengajian. Namun sejauh yang saya ketahui, Ibu tidak lagi seaktif Bapak di kemudian hari. Ibu lebih banyak mendukung Bapak dan tidak terjun langsung berkeliling seperti Bapak. Kelihatannya, ibu disibukkan merawat kami dan menjadi asisten Bapak dalam bisnis.

Ibu adalah gambaran pedagang yang sangat telaten dan tangkas. Ibu mengajarkan kepada saya bagaimana caranya menutup suatu transaksi. Kebanyakan kegagalan dalam berdagang adalah karena kurang tangkasnya seseorang menutup transaksi, terlalu lama dalam proses memilih dan menimbang-nimbang. Dalam menghadapi pelanggan, Ibu lah jagonya. Ibu juga seorang kalkulator berjalan. Ibu sangat cepat dalam menghitung awangan. Berapa berat gram perhiasan, berapa harga pergram, berapa ongkosnya, *-+/*+= hasilnya langsung tuing, tanpa kalkulator sampai dua angka desimal. Saya sering diejek ibu, karena mengandalkan kalkulator dan lambat dalam berhitung. Selain itu, Ibu tahu persis bagaimana mengikat kesetiaan pelanggan, dan bagaimana unggul dalam kompetisi di pasar. Toko kami waktu itu adalah toko terbesar dan teramai, alhamdulillah. Semuanya berkat kerja keras dari Ibunda dan Bapak yang tidak kenal lelah. Sepulang dari toko, Ibu dan Bapak seringkali melanjutkan waktu malamnya untuk pergi ke pengrajin mas atau ke grosiran. Kami anak-anaknya pun sering kali diajak, dulu waktu kecil kami hapal nama-nama rekanan Ibu, seperti Tiong Cin, jagoan mas dari Purwokerto.

Ibu tidak hanya ahli di perhiasan mas, Ibu adalah ahli dalam hal bisnis Bapak lainnya seperti pengumpul jeruk dan perdagangan kayu. Selain itu, ibu juga ahli dalam hal pengawasan dan pengaturan pembangunan. Ibu tidak bosan-bosannya mengawasi tukang yang bekerja dan bisa berbicara detil. Kalau bicara keramik, kusen, atap, cor-coran, ibu lah jagonya. Rumah kami, ibu lah yang mengarsiteki, dan mengawasi pembangunannya. Bukan hanya pembangunan, furniture, taman, bahkan karyawan, semuanya tangan Ibu lah yang berperan besar. Bahkan walaupun sibuknya, Ibu masih menangani perkara cucian, penataan ruang, sampai pernikahan karyawan. Menurut Ibu, itu semua adalah hobi Ibu.

Ibu juga jago masak. Masakan ibu tidak ada tandingannya. Telur goreng dadar masakan ibu paling top. Kalau sudah belanja seafood, racikannya adalah seafood terenak sedunia dan sekitarnya. Ibu sangat kreatif dalam memasak, cabe hijau pun bisa jadi lauk utama yang sangat enak. Seringkali Ibu kecapaian, namun kalau sedang bersemangat, kami rela menunggu Ibu memasak. Bapak paling pintar mengapresiasi masakan Ibu, dan Ibu paling bahagia mendampingi Bapak menyantap hidangannya.

Ibu adalah gambaran kakak dari 9 orang adik-adiknya yang sangat penyayang dan penuh perhatian. Ibu adalah anak pertama dari 10 bersaudara. Ibu sering mengatakan kepada saya, bahwa kasih sayang kepada adik adalah sangat penting, dan ibu mencontohkannya. Kami, anak-anaknya sering kali cemburu dengan paman dan bibi kami. Tapi Ibu selalu mengatakan, hendaknya kami mencontoh Ibu dalam berkasih sayang dan menjaga keakuran dengan keluarga. Ibu juga sangat menjaga tali silaturahmi dengan keluarga besar. Itulah kenapa Ibu sering kali menjadi keponakan yang paling disayang oleh Mbah-mbah kami.

Dalam hal pendidikan, Ibu sangat memberikan perhatian besar. Ibu tidak habis-habisnya memberikan semangat dan dorongan kepada kami dalam hal ini. Pendidikan anak-anak bagi ibu adalah nomor satu dan beliau perjuangkan dengan keras. Dian, Didi, dan Dahlia yang menempuh jalur kedokteran adalah hasil dari kerja keras ibu dalam memberi semangat dan dorongan. Dini, anak ke delapan, yang mengambil jalur Teknologi Informasi sempat mengagetkan ibu. Ibu belum memahami apa itu jurusan Teknologi Informasi. Namun, prestasi Dini dalam bidangnya sangat membanggakan ibu, dan membuat Ibu memahami minat Dini.

Periode kakak-kakak saya, orientasi pendidikan keluarga masih pada jalur pendidikan keagamaan. Tiga orang kakak saya mengenyam pendidikan di IAIN. Hanya Mas Dahri yang tidak di jalur itu. Setelah saya berhasil lulus di STAN dan UMPTN, orientasi pendidikan keluarga bergeser. Ibu lah yang mengarahkan adik-adik saya untuk mencari alternatif jalur pendidikan lain, dan kedokteran menjadi favorit Ibu. Dian berhasil lulus fakultas kedokteran, Didi dan Dahlia selanjutnya berada di jalur kedokteran atas motivasi tak kenal lelah dari Ibu.

Ibunda adalah gambaran sebenarnya dari seorang Ibu; penuh perhatian, tak pernah lelah mengarahkan, bercita-cita, dan memberi contoh dengan kerja keras. Sepuluh orang anak, berarti ada sepuluh macam sifat dan kecenderungan yang berlainan. Ibu selalu mensyukurinya, dan tidak pernah menyerah memberikan arahan dan mendampingi kami, satu per satu. Kata Ibu suatu waktu pada saya; anak sepuluh, maka anak-anak akan saling melengkapi. Ada yang kurang sukses, ada yang sukses, ada yang kurang baik, ada yang baik. Semuanya disyukuri oleh Ibu, sambil tanpa henti memberikan arahan dan nasehat.

Ibu bagaimana pun adalah manusia biasa. Menghadapi banyaknya persoalan keluarga, tubuh Ibu tidak sekuat semangatnya. Ibu hampir tidak pernah terbaring sakit. Penyakit yang datang kepadanya, alhamdulillah pergi dengan sendirinya karena Ibu seperti tidak merasakannya. Pernah tekanan darah Ibu sampai diatas 200, tapi Ibu masih tetap menjalankan aktivitasnya. Waktu itu Ibu dipaksa untuk opname, tapi Ibu tetap pulang. Pernah juga Ibu pamit ke Jogya, satu hari tidak ada kabar, ternyata Ibu menjalani operasi di rumah sakit, tanpa diketahui Bapak maupun keluarga. Seringkali Ibu sesak karena jantung, dan pernah dikateter, tapi alhamdulillah tidak ada penyakit yang membuatnya harus terbaring.

Ibu sangat setia mendampingi Bapak. Bukan hanya anaknya yang Ibu arahkan, Ibu pun mencari cara untuk mengarahkan Bapak. Terutama terkait dengan kegiatan dakwah Bapak. Ibu adalah penyemangat Bapak dalam berperan dalam masyarakat. Seringkali Ibu mengambil inisiatif terkait dengan hal tersebut, tentu saja dengan izin Bapak. Ketika Bapak semakin tua dan semangatnya mulai berkurang, Ibu pernah bercerita dan membagi kekuatirannya. Yang saya lihat, Ibu tetap memberi masukan dan dorongan kepada Bapak.

Ketika Bapak terkena stroke dan kemampuan mengingat dan berbicara beliau berkurang, Ibu tidak lelah-lelahnya menemani Bapak. Ibu mulai mengurangi kegiatannya di pasar dan menyerahkannya kepada Mba Diana. Ibu memberikan waktu lebih banyak untuk Bapak. Setiap hari, Ibu melayaninya dengan sabar. Ibu pernah bercerita, alangkah beratnya mendampingi Bapak dalam sakitnya, tapi Ibu tetap berkomitmen untuk tetap berada di sisi Bapak.

Semenjak Pasar Sampang terbakar pada tahun 1998 an, dan saat itu krisis ekonomi, aktifitas perdagangan lambat laun berkurang. Hal tersebut memicu resesi dalam perekonomian keluarga. Ibu lah yang paling merasakan hal ini, ia lah penanggungjawab keluarga setelah Bapak terkena stroke. Perdagangan tidak lagi semudah waktu-waktu sebelumnya. Walaupun didera permasalahan yang pelik, Ibu tidak lelahnya mencari jalan keluar. Ibu sering rasan (berbagi) terkait dengan hal ini, tapi yang saya lihat, tidak ada sedikit pun suatu keputusasaan. Ibu terus berusaha, walau sering kali yang beliau lakukan membentur karang tebal, tapi daya tahan dan kreatifitas Ibu tidak ada habis-habisnya. Kami pun sebagai anak-anaknya sering kali bingung dalam mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi keluarga. Tapi Ibu selalu tidak mau membebani anak-anaknya. Beliau pantang menyerah mencari dan terus mencari solusi.

Sampai akhir hayatnya, Ibu selalu menemani Bapak. Ibu memberikan yang terbaik buat Bapak dan buat kami anak-anaknya. Ibu adalah pasangan yang serasi dengan Bapak. Mereka bahu membahu dan bekerja keras untuk kami. Mereka mencurahkan kasih sayangnya, kasih sayang yang kami tidak mampu balaskan. Kami paham, bukan balasan yang mereka harapkan, mereka mengharapkan ridho Allah atas karunia dan amanat yang telah Ia berikan kepada mereka. Ibu, Bapak, insyaallah kami akan meneruskan cita-cita Ibu dan Bapak. Kami selalu berdoa, semoga Allah mengampuni dosa-dosa engkau berdua, dan memberikan kasih sayang, sebagaimana engkau berdua mencurahkan kasih sayang yang tiada tara kepada kami. Amin.

Kami akan selalu mencintai dan mendoakanmu, tak putus-putus, tak putus-putus.

Comments

Anonymous said…
Really super mom...salut..
Anonymous said…
salut, buat anda, saya juga seorang ibu, walau anak2 saya masih kecil, tapi mdh2an saya bisa mencontoh pengorbanan ibu anda dan mdh2an pula anak saya merasakan pengorbanan ibunya, amin.
Dikky Zulfikar said…
Thanks komennya Diva, sebagai seorang ayah saya pun nggak mau kalau dengan seorang bunda kepada anaknya :P

Popular posts from this blog

Gajah Oling: Lebih Percaya pada Pengaman Swasta

Daftar Situs yang Diblokir Indosat dan Telkom

Pohonku dan Kambingmu