Perjalanan Pulang Penuh Duka
Sabtu pagi saya bangun terlambat, 5.30!, Saya bangun sambil ngedumel mau ngomel ke resepsionis hotel. Bagaimana tidak, tadi malam saya sudah datang ke meja resepsionis, dan minta morning call jam 3.30 pagi. Saya sudah pesan, agar telepon saya sampai saya bangun. Saya sudah mengantongi tiket Adam Air jam 06.00 pagi ke Jakarta. Masak sekarang harus terlambat. Jarak Hotel Hyatt Surabaya ke Bandara Juanda saja butuh waktu 20 menitan.
Sebelum sampai di kamar mandi, hp saya berdering, ternyata tercatat ada lebih dari 30 missed call. Mba’ Diana di ujung telepon mengabarkan berita yang membuat saya berkeringat dingin. Inna lillahi wainna ilahi rooji’un. Saya menangis dalam sholat shubuh saya. Setelah sholat, saya hubungi Irfan, sopir kami yang dikabarkan selamat. Irfan mengiyakan konfirmasi saya. Saya telepon adik saya Dahlia dan Istri di Jakarta, Dahlia menangis dan sedang mencari taksi untuk menuju tempat kejadian.
Saya diantar Yongki menuju stasiun Gubeng, syukur alhamdulillah ada jadwal kereta api Argo Wilis ke Bandung. Saya berangkat pukul 07.30. Pikiran saya kalut sepanjang jalan, telepon dan sms bersautan. Saya mendapatkan konfirmasi dari Oom Lipi. Mereka sudah sampai di rumah sakit dan mendapatkan jenazah almarhum dan almarhumah. Adik saya, Dahlia, pun sudah sampai di sana.
Setiap kali menjawab telepon, saya tidak bisa berkata-kata. Sms saya jawab sekedarnya. Sepanjang perjalanan saya terdiam dan menangis. Setiap telepon dan sms mengingatkan saya akan musibah dan kehilangan yang sedang menimpa. Saya tidak mau percaya ini semua adalah nyata. Saya masih berpikir ini adalah perjalanan biasa, seperti yang sering saya lakukan.
Telepon dari Oom Jamal memberikan gambaran tentang kejadian, musibah tersebut adalah kecelakaan tunggal. Jenazah bapak sangat bagus, katanya, tenang seperti tidur, sambil tersenyum. Wajahnya bersih tidak terlihat luka. Sedangkan jenazah ibu ada sedikit luka. Yang parah adalah jenazah paman saya yang duduk di bangku depan. Ya Allah, terimalah mereka berdua disisi-Mu, dalam ketenangan dan keberkahan. Selanjutnya Oom Lipi mengabarkan kalau jenazah segera dimandikan, dikafani, disholatkan dan selanjutnya akan segera dipulangkan.
Saya mendapatkan kabar bahwa jenazah segera diberangkatkan dari Purwakarta pada pukul 11.30. Berdasarkan jadwal di tiket, kereta api akan tiba di Kroya pukul 14.35. Semoga saja kereta api tepat waktu. Saya tidak bisa membayangkan kalau kereta api terlambat dengan berbagai alasan dan saya tidak bisa menjumpai jenazah sebelum pemakaman.
Di dalam kereta, saya terpaksa mengabaikan beberapa telepon dan sms. Saya hanya ingin tenang. Tapi ternyata perhatian dan simpati rekan-rekan dan handai taulan membuat saya sangat terharu. Mereka sungguh setia menemani dalam kedukaan. Walau hanya lewat sms dan panggilan telepon, setiap sms yang saya baca dan telepon yang saya coba dengarkan memberikan kekuatan sekaligus mengingatkan bahwa saya tidak sendirian. Saya pasti kuat menghadapi musibah ini.
Alhamdulillah, jam 14.40 an, kereta api tiba di Kroya sesuai jadwal. Saya dijemput teman saya Pak Fauzi, Pak Teguh, dan Pak Koko. Hanya sapaan ringan yang bisa saya sampaikan, malu rasanya mempunyai mata berkaca-kaca. Selebihnya saya terdiam menerawang kaca jendela sepanjang jalan. Dada saya berat, seakan ada batu menindih. Bertemu dengan Pak Fauzi cs seakan sebuah kerinduan. Setelah sekian jam kesendirian, kini ada teman-teman yang saya kenal. Tiba-tiba saya menangis sejadinya. Saya tidak peduli lagi, tapi sungguh, dengan menangis beban di dada saya seperti terlepas.
Sesampai di depan rumah, saya turun dan berjalan cepat sambil menunduk, ah air mata lagi. Tamu-tamu telah banyak menunggu, tiga keranda tampak disiapkan di depan rumah, suasananya sungguh pilu, tapi saya tidak bergeming, saya terus berjalan. Oom Mumuh merangkul saya dan membimbing ke dalam rumah. Kakak dan adik-adikku sudah menunggu. Kami saling berangkulan dan menguatkan dalam derai air mata.
Mas Davis kelihatan tabah, Mba Dewi sangat terpukul, sebentar lagi bayinya akan lahir, Mas Dahri dan Mba Diana sedang menjemput jenazah, Dai tegar, Dian dan Dini tidak bisa menyembunyikan kesedihan, Didi juga menangis sesengukan. Insyaallah semuanya akan baik-baik saja.
Saya menguatkan diri dan mulai pergi keluar kamar. Saya mengecek seluruh persiapan dan rencana acara. Alhamdulillah, kerja keras keluarga besar dan masyarakat sekitar sungguh sigap. Kini hanya tinggal menunggu jenazah yang masih dalam perjalanan. Banyak sekali keluarga, handai taulan, dan masyarakat sekitar menyempatkan diri bertakziah, pastilah banyak teman-teman dan sahabat almarhum dan almarhumah yang saya tidak sempat mengenalnya.
Sekitar jam 16.30 rombongan jenazah datang. Mas Dahri, yang berhasil menyusul jenazah pagi tadi dari Sampang ke Purwakarta turun sambil menangis. Ia diantar ke kamar segera. Dahlia juga demikian juga dipapah ke kamar.
Satu hal yang membuat saya senang dan lega adalah, bahwa Dahlia, anak bontot keluarga kami, alhamdulillah bisa ikut dalam memandikan dan mengurus jenazah bapak dan ibu di rumah sakit. Ia kuliah di Jakarta, dan bisa menyusul ke rumah sakit begitu mendengar kabar musibah ini. Saya, adik-adik dan kakak-kakak terus terang sangat mengharapkan bisa terlibat lebih jauh seperti Dahlia.
Sebelum disholatkan, keluarga meminta kesempatan untuk melihat jenazah. Alhamdulillah, saya melihat ibu. Wajah ibu tersenyum cantik sekali. Pipinya dingin. Kami bergantian mencium ibu. Selanjutnya kami berniat membuka kafan jenazah bapak, tapi dibatalkan. Tidak memungkinkan. Sementara itu (yang dikira) jenazah Oom Rif pun batal dilihat oleh adik-adik sepupu saya, anak-anak almarhum.
Saya berteriak memastikan, apakah jenazah ini sudah benar. Terutama jenazah bapak dan jenazah Oom Rif. Keluarga meyakinkankan karena jenazah tersebut sudah diurutkan semenjak keluar dari ambulan berdasarkan informasi dari ambulan dan pengiringnya. Saya tidak puas. Informasi yang saya dapatkan jenazah bapak paling bersih. Tapi, kedua jenazah tersebut memang tidak jadi dilihat karena tidak memungkinkan. Saya minta kembali dipastikan. Didi adik saya mendukung saya, dari besar badan, badan bapak lebih kecil daripada badan Oom Rif, dan hal ini tidak sesuai dengan kondisi saat itu. Jenazah yang dikatakan jenazah bapak ternyata lebih besar. Hadirin menyarankan untuk memastikan dengan melihat kaki jenazah. Kami membukanya dan saat itu juga kami yakin bahwa jenazah tersebut tertukar. Alhamdulillah, kekeliruan tersebut dapat segera dikoreksi.
Belakangan saya mendapatkan informasi dari anak pertama Oom Rif, Nenton, yang mengiringi jenazah, bahwa dia sudah memastikan jenazah dan posisinya setelah dimandikan dan dikafani. Namun tidak melihat proses pemindahan jenazah ke mobil ambulan. Sehingga bisa jadi memang tertukar ketika dipindahkan ke ambulan.
Setelah menyolati, dan proses pelepasan jenazah, kami mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Alhamdulillah saya dan adik saya Didi dapat ikut menurunkan jenazah ibu ke liang lahat, membuka kain kafannya, dan menempatkannya di liang lahat tersebut. Sementara, Mas Dahri dan Ustadz Zaini, sahabat bapak, membantu menurunkan dan menata jenazah bapak di liang lahat. Walaupun saya tidak melihat wajah bapak, tapi saya yakin, Ustadz Zaini memastikan segalanya.
Selamat jalan Bapak, Ibu, dan Paman tersayang; Ya Allah, mereka adalah hamba-Mu dan anak dari hamba-Mu, berilah mereka kerohmatan yang seluas-luasnya dan karuniakanlah mereka dengan rohmat-Mu, turunkanlah cahaya untuk mereka dari cahaya-Mu, terangilah kubur mereka dan luaskan pula kubur mereka. Temanilah hamba-hamba-Mu ini Ya Allah, jadikanlah kuburan mereka ini sebagian dari surge, dan bukan sebagian dari lubang-lubang neraka. Ya Allah, berilah untuk mereka kesayangan dan ampunan beserta sambutan yang mereka selama ini damba-dambakan. Pindahkan lah mereka dari tempat yang sempit ke tempat yang luas di surge-Mu. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar Engkau memberikan untuk mereka yang terbaik, berikan kepada mereka kemudahan, jauhilah mereka dari siksa kubur dan api neraka. Berilah kepada kami kesabaran dengan ketiadaan mereka, berilah mereka ampunan yang seluas-luasnya. Ya Allah, dengan Nama-Mu yang suci dan mulia, terimalah doa hamba-Mu ini yang tiada daya, dan sesungguhnya, Engkaulah yang memulai dan Engkau pula lah yang mengakhiri. Subhaana robbika robbil izzati amma yasifun, wa salamun ala almursalin walhamdulillahi robbal ‘alamin.
Sebelum sampai di kamar mandi, hp saya berdering, ternyata tercatat ada lebih dari 30 missed call. Mba’ Diana di ujung telepon mengabarkan berita yang membuat saya berkeringat dingin. Inna lillahi wainna ilahi rooji’un. Saya menangis dalam sholat shubuh saya. Setelah sholat, saya hubungi Irfan, sopir kami yang dikabarkan selamat. Irfan mengiyakan konfirmasi saya. Saya telepon adik saya Dahlia dan Istri di Jakarta, Dahlia menangis dan sedang mencari taksi untuk menuju tempat kejadian.
Saya diantar Yongki menuju stasiun Gubeng, syukur alhamdulillah ada jadwal kereta api Argo Wilis ke Bandung. Saya berangkat pukul 07.30. Pikiran saya kalut sepanjang jalan, telepon dan sms bersautan. Saya mendapatkan konfirmasi dari Oom Lipi. Mereka sudah sampai di rumah sakit dan mendapatkan jenazah almarhum dan almarhumah. Adik saya, Dahlia, pun sudah sampai di sana.
Setiap kali menjawab telepon, saya tidak bisa berkata-kata. Sms saya jawab sekedarnya. Sepanjang perjalanan saya terdiam dan menangis. Setiap telepon dan sms mengingatkan saya akan musibah dan kehilangan yang sedang menimpa. Saya tidak mau percaya ini semua adalah nyata. Saya masih berpikir ini adalah perjalanan biasa, seperti yang sering saya lakukan.
Telepon dari Oom Jamal memberikan gambaran tentang kejadian, musibah tersebut adalah kecelakaan tunggal. Jenazah bapak sangat bagus, katanya, tenang seperti tidur, sambil tersenyum. Wajahnya bersih tidak terlihat luka. Sedangkan jenazah ibu ada sedikit luka. Yang parah adalah jenazah paman saya yang duduk di bangku depan. Ya Allah, terimalah mereka berdua disisi-Mu, dalam ketenangan dan keberkahan. Selanjutnya Oom Lipi mengabarkan kalau jenazah segera dimandikan, dikafani, disholatkan dan selanjutnya akan segera dipulangkan.
Saya mendapatkan kabar bahwa jenazah segera diberangkatkan dari Purwakarta pada pukul 11.30. Berdasarkan jadwal di tiket, kereta api akan tiba di Kroya pukul 14.35. Semoga saja kereta api tepat waktu. Saya tidak bisa membayangkan kalau kereta api terlambat dengan berbagai alasan dan saya tidak bisa menjumpai jenazah sebelum pemakaman.
Di dalam kereta, saya terpaksa mengabaikan beberapa telepon dan sms. Saya hanya ingin tenang. Tapi ternyata perhatian dan simpati rekan-rekan dan handai taulan membuat saya sangat terharu. Mereka sungguh setia menemani dalam kedukaan. Walau hanya lewat sms dan panggilan telepon, setiap sms yang saya baca dan telepon yang saya coba dengarkan memberikan kekuatan sekaligus mengingatkan bahwa saya tidak sendirian. Saya pasti kuat menghadapi musibah ini.
Alhamdulillah, jam 14.40 an, kereta api tiba di Kroya sesuai jadwal. Saya dijemput teman saya Pak Fauzi, Pak Teguh, dan Pak Koko. Hanya sapaan ringan yang bisa saya sampaikan, malu rasanya mempunyai mata berkaca-kaca. Selebihnya saya terdiam menerawang kaca jendela sepanjang jalan. Dada saya berat, seakan ada batu menindih. Bertemu dengan Pak Fauzi cs seakan sebuah kerinduan. Setelah sekian jam kesendirian, kini ada teman-teman yang saya kenal. Tiba-tiba saya menangis sejadinya. Saya tidak peduli lagi, tapi sungguh, dengan menangis beban di dada saya seperti terlepas.
Sesampai di depan rumah, saya turun dan berjalan cepat sambil menunduk, ah air mata lagi. Tamu-tamu telah banyak menunggu, tiga keranda tampak disiapkan di depan rumah, suasananya sungguh pilu, tapi saya tidak bergeming, saya terus berjalan. Oom Mumuh merangkul saya dan membimbing ke dalam rumah. Kakak dan adik-adikku sudah menunggu. Kami saling berangkulan dan menguatkan dalam derai air mata.
Mas Davis kelihatan tabah, Mba Dewi sangat terpukul, sebentar lagi bayinya akan lahir, Mas Dahri dan Mba Diana sedang menjemput jenazah, Dai tegar, Dian dan Dini tidak bisa menyembunyikan kesedihan, Didi juga menangis sesengukan. Insyaallah semuanya akan baik-baik saja.
Saya menguatkan diri dan mulai pergi keluar kamar. Saya mengecek seluruh persiapan dan rencana acara. Alhamdulillah, kerja keras keluarga besar dan masyarakat sekitar sungguh sigap. Kini hanya tinggal menunggu jenazah yang masih dalam perjalanan. Banyak sekali keluarga, handai taulan, dan masyarakat sekitar menyempatkan diri bertakziah, pastilah banyak teman-teman dan sahabat almarhum dan almarhumah yang saya tidak sempat mengenalnya.
Sekitar jam 16.30 rombongan jenazah datang. Mas Dahri, yang berhasil menyusul jenazah pagi tadi dari Sampang ke Purwakarta turun sambil menangis. Ia diantar ke kamar segera. Dahlia juga demikian juga dipapah ke kamar.
Satu hal yang membuat saya senang dan lega adalah, bahwa Dahlia, anak bontot keluarga kami, alhamdulillah bisa ikut dalam memandikan dan mengurus jenazah bapak dan ibu di rumah sakit. Ia kuliah di Jakarta, dan bisa menyusul ke rumah sakit begitu mendengar kabar musibah ini. Saya, adik-adik dan kakak-kakak terus terang sangat mengharapkan bisa terlibat lebih jauh seperti Dahlia.
Sebelum disholatkan, keluarga meminta kesempatan untuk melihat jenazah. Alhamdulillah, saya melihat ibu. Wajah ibu tersenyum cantik sekali. Pipinya dingin. Kami bergantian mencium ibu. Selanjutnya kami berniat membuka kafan jenazah bapak, tapi dibatalkan. Tidak memungkinkan. Sementara itu (yang dikira) jenazah Oom Rif pun batal dilihat oleh adik-adik sepupu saya, anak-anak almarhum.
Saya berteriak memastikan, apakah jenazah ini sudah benar. Terutama jenazah bapak dan jenazah Oom Rif. Keluarga meyakinkankan karena jenazah tersebut sudah diurutkan semenjak keluar dari ambulan berdasarkan informasi dari ambulan dan pengiringnya. Saya tidak puas. Informasi yang saya dapatkan jenazah bapak paling bersih. Tapi, kedua jenazah tersebut memang tidak jadi dilihat karena tidak memungkinkan. Saya minta kembali dipastikan. Didi adik saya mendukung saya, dari besar badan, badan bapak lebih kecil daripada badan Oom Rif, dan hal ini tidak sesuai dengan kondisi saat itu. Jenazah yang dikatakan jenazah bapak ternyata lebih besar. Hadirin menyarankan untuk memastikan dengan melihat kaki jenazah. Kami membukanya dan saat itu juga kami yakin bahwa jenazah tersebut tertukar. Alhamdulillah, kekeliruan tersebut dapat segera dikoreksi.
Belakangan saya mendapatkan informasi dari anak pertama Oom Rif, Nenton, yang mengiringi jenazah, bahwa dia sudah memastikan jenazah dan posisinya setelah dimandikan dan dikafani. Namun tidak melihat proses pemindahan jenazah ke mobil ambulan. Sehingga bisa jadi memang tertukar ketika dipindahkan ke ambulan.
Setelah menyolati, dan proses pelepasan jenazah, kami mengantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Alhamdulillah saya dan adik saya Didi dapat ikut menurunkan jenazah ibu ke liang lahat, membuka kain kafannya, dan menempatkannya di liang lahat tersebut. Sementara, Mas Dahri dan Ustadz Zaini, sahabat bapak, membantu menurunkan dan menata jenazah bapak di liang lahat. Walaupun saya tidak melihat wajah bapak, tapi saya yakin, Ustadz Zaini memastikan segalanya.
Selamat jalan Bapak, Ibu, dan Paman tersayang; Ya Allah, mereka adalah hamba-Mu dan anak dari hamba-Mu, berilah mereka kerohmatan yang seluas-luasnya dan karuniakanlah mereka dengan rohmat-Mu, turunkanlah cahaya untuk mereka dari cahaya-Mu, terangilah kubur mereka dan luaskan pula kubur mereka. Temanilah hamba-hamba-Mu ini Ya Allah, jadikanlah kuburan mereka ini sebagian dari surge, dan bukan sebagian dari lubang-lubang neraka. Ya Allah, berilah untuk mereka kesayangan dan ampunan beserta sambutan yang mereka selama ini damba-dambakan. Pindahkan lah mereka dari tempat yang sempit ke tempat yang luas di surge-Mu. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar Engkau memberikan untuk mereka yang terbaik, berikan kepada mereka kemudahan, jauhilah mereka dari siksa kubur dan api neraka. Berilah kepada kami kesabaran dengan ketiadaan mereka, berilah mereka ampunan yang seluas-luasnya. Ya Allah, dengan Nama-Mu yang suci dan mulia, terimalah doa hamba-Mu ini yang tiada daya, dan sesungguhnya, Engkaulah yang memulai dan Engkau pula lah yang mengakhiri. Subhaana robbika robbil izzati amma yasifun, wa salamun ala almursalin walhamdulillahi robbal ‘alamin.
Comments