Dikeroyok Orang Kampung di Lapangan Merah


Lapangan merah, STAN, adalah lapangan mini kebanggaan mahasiswa STAN dan warga kampung sekitarnya. Seingat saya ada 3 lapangan mini di tempat yang berseberangan dengan Masjid Baitul Maal (MBM) tersebut. Tahun 1994-1995 an semasa saya tingkat II, aturan main untuk bisa main di lapangan merah adalah siapa yang datang duluan, maka dia dapat. Nah, dengan aturan itulah, mahasiswa STAN, warga kampung, maupun acara sepakbola resmi dari kampus bersama-sama bersepakbola ria.


Suatu hari kami sepakat untuk tanding antar kelas. Pada hari H-nya, saya sebagai ketua kelas (saya lupa kelas berapa, yang pasti ada Aprinto Berlianto (Pajak) di sana) harus memastikan kalau kami dapat lapangan. Kelas kami yang bertanggungjawab, karena kelas kamilah yang menantang. Setelah bubaran kuliah sekitar pukul 14.00, saya bergegas pulang dan segera menuju ke lapangan merah. Terang saja saya berhasil dapat lapangan, karena tidak ada pemain bola yang datang ke lapangan sebelum adzan ashar. Teman-teman pun segera datang dan kami bergantian sholat ashar.


Awalnya semua berjalan lancar, pertandingan bola pun bisa segera di mulai. Warga kampung yang datang belakangan kelihatan sangat kecewa karena kami sudah main duluan. Setelah warga kampung sudah banyak yang datang, mereka mulai melakukan pemanasan di pinggir lapangan sambil memainkan bola di antara mereka. Kami tetap melanjutkan pertandingan. Lama kelamaan, warga kampung memperluas area permainan pemanasan mereka dan mulai mengganggu pertandingan. Sebagian teman-teman mulai risih. Kami mencoba berunding dengan warga kampung, mereka mengatakan bahwa hari sebelumnya mereka sudah mengalah tidak main karena lapangan digunakan mahasiswa.


Kami hanya minta tambahan waktu, tapi mereka terus saja mengganggu jalannya pertandingan dari sisi lapangan. Akhirnya, teman-teman tidak tahan dan menyingkir dari lapangan. Saya sangat kecewa. Dalam kekesalan tiba-tiba saya lihat, dua orang warga kampung mengejek kami dengan bermain sandiwara, satu orang mengusir, satu orang terusir. Saya hampiri mereka dan mengatakan, kalau mereka mau main, main aja nggak usah ngledek!. Iman Sufrian (BPK), kiper terbaik kami, merangkul saya dan menjauhkan dari mereka, "sudah Dik", katanya. Tiba-tiba, dari arah belakang, batu beterbangan ke arah kami berdua. Saya menengok, dari arah tengah lapangan, orang-orang kampung mengejar ramai-ramai. Langsung saya lari ke arah barat lapangan, dipinggir gawang seorang paruh baya dengan kaos hijau menghentikan pengejar. Saya bersembunyi dibelakangnya. Semua pengejar tidak berani meneruskan. Si penolong tiba-tiba berbalik menghadap saya dan memukul saya sambil teriak, "kamu sih bikin gara-gara!!". Melihat saya dipukul, para pengejar kembali bersemangat, saya kembali lari menuju tengah lapangan, tempat teman-teman duduk beristirahat. Iwan Ambon (DO TK II, Pajak), yang badannya kaya bodyguard dan kawan STAN hanya tertegun. Entah bagaimana beberapa pukulan berhasil saya tangkis, bahkan saya berhasil melesatkan jab ke beberapa pengejar. Pengejar yang terkena bogem saya tidak terima dan tidak mau berhenti mengejar. Para pengejar lain rupanya sudah berhenti, bersamaan dengan teriakan-teriakan untuk menyudahi pengejaran. Heri Triatmoko (BPPK) mengiringi saya melompati got ke arah jalan, sambil merangkul dia menemani saya menjauh. Syukurnya, saya pulang ke kost tanda cedera apapun.


Di Cendrawasih IV, teman-teman satu kelas menyusul memastikan kondisi saya, sambil membawa sandal yang tertinggal. Everything was alright, thanks guys.


Besoknya, ketika saya menghadap Mas Budi, Ketua Senat (waktu itu belum disebut BEM), untuk laporan kegiatan Pentas Puisi Anak Negeri, Mas Budi bercerita kalau ada insiden pengeroyokan di lapangan merah oleh orang kampung terhadap mahasiswa. Saya hanya tersenyum, sambil mengatakan, sayalah korbannya. Mas Budi kaget sejenak.


Hal kecil yang saya masih ingat adalah saya waktu itu sempat merasa kecewa dengan teman-teman kelas lawan tanding. Tidak ada satu pun anggota kelas tersebut bersimpati atas musibah yang saya alami, even hanya menanyakan bagaimana kondisi saya. Mungkin mereka menganggap saya bodoh karena memulai konflik dengan anak kampung. Tapi, bagaimanapun saya kan teman mereka juga. Tapi itu cerita dulu, saya tidak menyesal sama sekali, dan pengalaman tersebut memberikan banyak pelajaran buat saya.

Comments

Anonymous said…
Fenomena menarik masyarakat Indonesia, rela sampe 'keroyokan' untuk 'rebutan' lapangan bola....sungguh potensi besar toek melahirkan pesepak bola handal.
sayang ketum PSSI berikut pengurus-nya 'muka badak' semua.

Sukses selalu Dik
Dikky Zulfikar said…
Terima kasih Mas Hudaya, sejauh ini sepakbola mulai maju, stadion mulai penuh, gaji pemain mulai tinggi, semoga jadi awal yang baik untuk prestasi besar RI tercinta.

Sukses juga buat anda, Mas.
Anonymous said…
Dikky..Dikky..
ternyata dari dulu elo emang pemancing kericuhan ya?
untuk anak MM UGM gak ada yg kepancing :-)

Asih
Dikky Zulfikar said…
Asih, terimakasih sudah mampir. Anak gue ya, aduh gak bisa diem. dalam hati biarin aja dia bergerak bebas, nanti pasti jadi anak cerdas. lah gua ini, dari kecil sampe sekarang emang nggak bisa diem, jadinya cerdas terus kan...

Kata siapa MM nggak kepancing, tragedi dengan bu dosen dulu, kan hampir aja gua dikepret. :P
Fery Corly said…
itu pasti gara-gara aprinto berlianto...

Popular posts from this blog

Gajah Oling: Lebih Percaya pada Pengaman Swasta

Asal-usul Ngeles (Mengelak) & Legenda Ngeles Amrik

Designer atau Developer