Telepon Waktu Jaman di STAN: Nyolong pun Terjadi


Fasilitas telepon tempo dulu, waktu masih belajar DIII di STAN (1993 -1996), bagaikan bumi dan langit dibandingkan dengan jaman SBY ini. Sebagai orang kampung yang merantau, telepon ke bapake ibune inyong di kampung halaman adalah rutinitas wajib.

Fasilitas telepon interlokal disediakan oleh telepon kartunya telkom dan wartel. Saat itu, tahun 1993 – 1996, wartel masih sangat jarang. Kalau mau interlokal, saya harus naik angkot ke Kelurahan (Pondok Betung), deket bioskop. Ke wartel pun harus di atas jam 9 malam, karena jam 9 malam mendapatkan diskon sampai dengan 75%. Angkot ke Kelurahan masih Rp. 300. Bisa bayar Rp. 200, sambil nyebut “mahasiswa”.

Kalau mau lebih praktis, telepon kartu bisa digunakan, waktu itu di kampus ada satu box telepon kartu. Di kampus STAN dalam hal pertelponan, paling tidak ada tiga kejahatan mahasiswa. Pertama adalah melakukan isi ulang kartu. Entah bagaimana caranya kartu kosong bisa diisi ulang dengan menggunakan box telepon kartu. Kedua adalah mengakali kartu telepon dengan lipatan-lipatan khusus. Karena saya hanya melihat dan bukan mantan pelaku, jadi saya pun tidak tahu bagaimana caranya. Yang ketiga yang lebih serius adalah mencuri sambungan telepon dari telepon di sekretariat STAN. Caranya adalah dengan membawa unit telepon dari rumah, kemudian kabel telepon yang berseliweran di depan KOPMA, dikelupas, dan selanjutnya menyambungkan dengan unit telepon yang dibawa dari rumah tersebut. Dengan begitu, maka telpon kemana saja berapa lamapun praktis gratis. Pelaku saya lihat tinggal nongkrong di depan KOPMA sambil cekikikan. Karena kalau malam gelap, sehingga mereka kelihatan sangat bebas. Saya tidak tahu kenapa tidak ada petugas SATPAM yang memergokinya.

Jaman DIV, tahun 1999 sudah sangat berbeda. Ketika menginjakkan kaki dari Pontianak ke Jakarta untuk kembali belajar, handphone buat saya masih barang mewah. Saya sering takjub melihat teman-teman STAN yang sudah tampil keren dengan handphonenya. Saat itu handphone paling masyhur adalah handphone Nokia Sejuta Umat, alias Nokia 5110. Harga kartu perdana masih gila-gila an. Kartu perdana Mentari atau Simpati bisa dijual satujuta perak. Sejak masa handphone itu, kita lupa kalau ada telepon koin, telepon kartu, apalagi wartel.

Comments

Anonymous said…
walau gak pernah ketemu ketika nelpon, ternyata wartel kita sama dik.
oia, jaman itu kalo gak salah kalo diantara jam 9 ampe 11 malam masih 50%.
waktu tingkat 3, gw dah jarang ke wartel lagi, gw nebeng ke kost2an anak kediri kalo mo nelpon...
kan lumyan gak pake acara jalan jauh2 amat...
oia, elo dulu pernah nonton bioskop yang didekat wartel gak?
gw dulu pernah sekali diajak kakak kelas yang doyan film2 gak jelas...


indrag
Dikky Zulfikar said…
Nah, ngaku juga kan loe, hobinya nonton film serem. berarti kita dulu waktu telpon sama2 ke cilacap ya ndra. rumah elo kan disana.

Semenjak di pjmi, gua juga punya telpon rumah. si eka adi susila bendaharanya.

Popular posts from this blog

Gajah Oling: Lebih Percaya pada Pengaman Swasta

Asal-usul Ngeles (Mengelak) & Legenda Ngeles Amrik

Designer atau Developer